Bab 17

28.4K 3.4K 93
                                    

"Rafa... bagaimana keadaannya Tante?" tanyaku yang sontak menegapkan tubuh saat Tante Nadine masuk ke ruang rawatku. Azka memaksaku untuk istirahat setelah tadi Dokter Maya memeriksa kandunganku, Dokter Maya berkata tidak ada hal yang sangat serius tapi bisa menjadi sangat serius jika aku telat diselamatkan tadi. Pesannya untukku agar aku istirahat dan memulihkan kondisi psikisku itu yang utama.

"Dia sudah sadar." Seketika itu juga aku langsung bernapas lega. "Kakakmu hanya memberinya obat bius hirup."

"Nggak, tolong jangan di infus Tante." Sergahku saat Tante Nadine mulai mengeluarkan perlengkapannya.

"Nadia..!" tegur Azka yang berdiri di samping ranjang. Aku memasang wajah memelas pada Tante Nadine sebelum akhirnya ia mengangguk.

"Baiklah. Kondisinya juga tidak terlalu parah hingga harus di infus, tapi saran Tante harus banyak istirahat, kamu lagi hamil jadi tidak bisa dikasih sembarangan obat. Suplemennya harus rutin juga diminum. Oh ya, hilangkan pikiran yang buat kamu bertambah stress itu sangat pengaruh sama perkembangan janin," ucapnya sembari memasukkan lagi perlengkapannya.

"Kalau Tante jadi kamu, Tante tidak mungkin pergi menemui Kakakmu yang seperti itu sendirian. Kakakmu cenderung ke arah psikopat, butuh penanganan lebih dari khusus. Dan tidak bisa di jamin akan sembuh dalam waktu dekat. Ia pasti sudah sangat meniatkannya, memberi anaknya obat bius sebelum mengakhiri hidup bersamaan. Dan sangat kebetulan kamu datang maka lenyaplah semua rencananya."

"Lalu, sekarang Kak Fandi dimana?" Aku melihat Tante Nadine melirik Azka dengan tangkas akupun mengalihkan perhatianku ke arahnya. "Dimana Kak Fandi, Azka?"

"Yang jelas dia nggak ada disini. Jangan pikirkan apapun lagi cukup istirahat. Seperti yang dibilang Tante Nadine juga Dokter Maya."

"Tapi aku harus bertemu dengannya."

"Nggak, Nadia!"

Sepertinya tidak hanya aku yang terkejut dengan bentakan Azka, Tante Nadine juga.

"Um. Kalau begitu Tante permisi keluar," ujar Tante Nadine yang langsung melangkah keluar ruangan.

Aku menarik kemeja Azka, aku tahu saat ini Azka sedang sangat emosi, jika aku meminta dengan cara yang keras kepala sudah pasti ia tidak akan mengabulkan permintaanku. "Azka... aku butuh ngomong sama Kak Fandi. Aku mohon..."

"Nggak Nadia! Sampai kapanpun aku nggak akan pernah ijinin kamu ketemu sama dia."

Mataku mulai memanas lagi, "Aku masih paham sampai ia memukuliku. Tapi mengakhiri hidupnya? Aku nggak mau Kak Fandi berlari terlalu jauh, Azka... hanya aku satu-satunya keluarga yang dia punya. Kalau bukan aku yang peduli, siapa lagi Azka... Kalau bukan aku yang menolongnya, siapa lagi... sampai kapanpun aku nggak bisa memutuskan ikatan darah diantara kami, seburuk apapun sikapnya."

Azka meraih kedua pundakku menatapku dalam, kemarahan sangat terpancar disana. "Kamu boleh meminta apapun. Apapun Nadia. Selain bertemu dengan Kakakmu, sampai kapanpun aku tidak akan mengijinkannya. Sudah cukup, ini yang terakhir aku melihat wajahmu lebam karena ulahnya. Apalagi dia hampir menghabisi nyawamu, nyawa anak kita. Aku nggak akan pernah memberikan maafku, meskipun kamu memohon."

Air mataku meleleh. Azka terlalu berkeras untuk masalah ini. "Rafa. Tolong ijinin aku menemuinya."

Azka masih terpaku sebelum akhirnya mengangguk.

***

Azka memaksa mengantarkanku dengan kursi roda. Ya, aku memang sudah sangat terlihat seperti orang sakit parah, tetapi yang menjadi fokus Azka bukan kondisi tubuhku melainkan janin yang ada dalam kandunganku, begitu katanya setelah lagi-lagi kami berdebat.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang