Bab 4

32.8K 4K 98
                                    

Dengan koran yang kugelar di lantai kamar kos aku membaca dengan teliti sekiranya pekerjaan yang dapat kulamar. Lama aku berfokus akhirnya aku meremat koran tersebut dan membuangnya kesal.

Tidak akan ada. Tidak akan ada tempat bagus yang menerima lulusan SMP sepertiku. Aku menggeram kesal setiap kali mengingat wajah Azka, seenaknya saja ia mencampuri urusan hidupku. Aku memang tidak ingin terjebak selama di tempat hiburan malam itu, tetapi bukan berarti aku akan pergi dalam waktu dekat ini. Tabunganku belum cukup untukku mendaftar sekolah paket C.

Tidak banyak yang bisa kuperbuat dengan gaji yang hanya dibayar separo setiap bulannya, jika aku sakit maka gajiku akan dipotong. Tidak ada kontrak kerja, Madam Maria akan membayarku sesukanya, alasannya selalu karena hutang Kakakku yang masih belum ada apa-apanya dari gajiku yang dipotong.

Selama hampir empat tahun aku bekerja yang bisa kukumpulkan hanya tujuh lembar uang berwarna merah.

Aku bangkit menuju kamar mandi sambil membawa pisau dapur. Tidak tujuanku bukan ingin bunuh diri melainkan memotong botol shampo dan mencari sesuatu yang berharga dari dalamnya. Cincin berlian Mama. Aku mencucinya dengan bersih lalu membawanya keluar.

Terduduk di atas tilam tidur dan memandangnya nanar. "Nadia anak yang kuat kan, Ma?" racauku dengan tatapan tak lepas dari permata. "Kayak yang selalu Mama bilang..."

***

"Kamu serius hanya lulusan SMP?"

Aku menganggukkan kepalaku. Manager restoran berjenis kelamin pria, berkaca mata itu menatapku dengan kening berkerut.

"Jadi tukang cuci piring mau?" tawarnya tampak ragu, mungkin karena penampilanku terlalu rapi sebagai pelamar yang datang membawa ijazah SMP. Kemeja putih, rok hitam selutut, dan flat shoes yang juga berwarna hitam.

Ini restoran ke lima yang aku datangi setelah empat sebelumnya aku langsung di tolak apalagi kalau bukan karena tamatanku. Aku tidak berkecil hati karena aku tahu sejak awal akan begini jadinya, hanya melamar jadi waitress sekalipun harus menggunakan ijazah SMA.

"Gimana?" tanyanya lagi.

"Um.. gajinya.." gumamku pelan. Sial, kenapa aku langsung tanya to the point.

"Delapan ratus ribu. Delapan jam kerja per hari."

Aku menganga dengan batin tertawa keras. Apa hanya segitu orang-orang akan menghargaiku? Tidak ada yang namanya UMK karena sepertinya mereka akan menggajiku sesuka hati, tetapi ini lebih buruk dari gaji bulanan yang diberikan Madam Maria, setidaknya dia memberiku lebih dari satu juta per bulannya.

Aku menghela napas panjang. "Um. Kapan aku bisa mulai bekerja?"

"Besok. Kami buka pukul sembilan, tapi usahakan datang lebih cepat."

"Baiklah. Saya akan datang besok." Aku benar-benar harus mengambil positifnya, setidaknya pekerjaan dan ada yang bisa aku gunakan untuk menyambung hidup.

Dengan sekantung nasi bungkus di genggaman tangan, aku menyusuri jalanan. Pulang dengan harapan untuk selanjutnya semoga akan menjadi lebih baik.

Langkahku memelan melewati mobil mewah berwarna hitam, di jalan besar tepat di ujung gang kos an ku. Orang penting seperti apa yang akan datang ke tempat seperti ini, batinku. Aku mengendikkan bahu dan melangkah cepat, perutku sudah lapar.

"Nadia!" seru Ibu Kos dari jauh. "Cepetan kesini. Dari tadi ada yang nyariin kamu. Ibuk teleponin kamu nggak angkat."

Aku memang sengaja mematikan ponselku. Kemarin Kakak tidak mendapat yang dia inginkan pasti ia akan sibuk menghubungiku kalau sudah begitu.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang