Bab 30 (End)

45.5K 3.7K 85
                                    


Aku mengambil ponsel dari atas nakas setelah berganti pakaian tidur. Azka masih setia di depan komputer ketika aku naik ke kasur. Tanganku bergerak cepat kembali membuka video yang di kirim oleh psikiater khusus yang menangani Kak Fandi. Keberadaan psikiater itu cukup mengejutkanku saat tiga hari yang lalu aku kembali mengunjungi Kak Fandi. Ternyata, Azka yang punya andil.

Setiap mengingatnya, desiran halus yang membuatku mata ini mengabur karena titik air selalu menyertai. Entah mengapa, rasanya ini lebih membahagiakan sekaligus mengharukan daripada ribuan bunga mawar atau makan malam romantis sekalipun. Azka, yang dulu terlihat sangat membenci Kak Fandi dan kini peduli padanya membuatku lidahku kelu, tak sanggup mengungkap rasa yang tercampur aduk dalam batin ini.

Suara Kak Fandi, yang sangat kurindukan mengudara dari balik video yang mulai memutar. Seharian dia menonton sebuah Film, dan video yang sedang terputar adalah proses wawancara santai tentang apa yang baru saja di tontonnya. Senyumku mengembang saat Kak Fandi menjawab semuanya dengan benar, yang aku syukuri adalah dia sadar dengan yang dilakukannya hari itu, dan aku masih menanti Kak Fandi yang bisa berinteraksi layaknya manusia normal.

Video berdurasi tiga puluh menit lebih itu berhasil menyedot seluruh atensiku, hingga tak menyadari rambatan lengan Azka yang membuatku sedikit tersentak. Azka menarik bagian bawah leherku, hingga aku tidur berbantalkan lengannya.

"Kak Fandi sudah banyak kemajuan." Komentar Azka.

Aku mengangguk, menjauhkan ponsel dan mengambil jemari Azka; mengaitkannya dengan jemariku lalu mengecup punggung tangannya.

Azka mengecup pucuk kepalaku beberapa kali. "Aku punya kabar buruk."

Sontak kepalaku menengadah, bertukar pandangan dengan Azka yang masih tampak tenang. Kabar buruk? Apa? Batinku langsung tak tenang.

"Bibi Mia sakit."

Mataku melebar dan kontan terduduk. "Sakit? Sakit apa? Besok kita langsung jenguk bisakan? Kamu nggak ada pekerjaan yang di-"

Azka bangkit dan membekap mulutku. "Aku tidak tahu pastinya sakit apa. Kita memang akan ke sana besok. Aku masih mau bilang ke kamu. Tadi, Bunda telepon dan mereka berangkat sore tadi. Tapi kabar buruk yang ingin kusampaikan bukan hanya itu."

Aku menarik tangan Azka, "ka-bar buruk apa lagi?" sudah terlalu banyak hal buruk yang menghampiriku, dan ketika kabar buruk itu datang lagi tubuhku seketika lemas.

"Besok, kamu tidak ingat besok hari apa?"

Keningku berkerut, "Besok Rabu, tentu saja aku ingat, memang kenapa?"

Azka diam, menatapku dengan ekspresi menunggu.

Aku menggigit bibir bawahku saat Azka mulai menipiskan bibirnya. Aku meraih lengan Azka, dengan kepala penuh memikirkan apa yang dimaksud Azka. Mulai mengingat-ingat, apa ada yang spesial dengan hari esok? Apa aku melewatkan sesuatu lagi, yang membuat Azka kecewa.

"Azka aku nggak bisa ingat apa pun," kataku dengan suara sangat rendah.

"Yakin kamu tidak mengingat apa pun?"

Aku menggeleng, dan yakin mata ini semakin memacarkan ketakutan kala melihat rahang Azka semakin mengetat.

"Dengan hari lahirmu sendiri kamu tidak mengingatnya?" Azka bertanya seolah tak percaya, sementara aku terhenyak.

Benarkah? Aku meneguk saliva, kali ini dengan sangat berat. Berpuluh tahun, aku hampir tak pernah mengingat hari ulang tahunku sendiri, karena sama sekali tak ada yang spesial disana, selain bertambahnya umur. Bahkan ada titik dimana aku merasa marah kenapa diri ini masih bernapas dengan usia yang bertambah, harusnya Tuhan mencabut nyawaku agar terlepas dari segala penderitaan secepat mungkin.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang