Bab 19

24.7K 3.3K 75
                                    

“Melamun?”

Aku tersentak menoleh ke arah Bunda. Entah berapa lama aku tercenung di teras samping memandangi rumput hijau dengan buku tertutup dipangkuanku.

“Ibu hamil tidak boleh terlalu banyak pikiran.”

Aku tersenyum meringis. Nyatanya pikiranku sedang melayang kemana-mana saat ini.

“Azka niat sekali pagi-pagi bicara empat mata sama Bunda, meminta bantuan Bunda buat terus perhatiin kamu.”

“Maaf, Bunda.” Aku sedikit merasa bersalah, kegiatan Bunda pasti banyak bukan hanya melihatku setiap saat. Hari ini Azka sudah mulai masuk kerja, itu juga alasan Azka sampai meminta bantuan Ibunya seperti ini.

Bunda menggelengkan kepalanya. “Kamu anak Bunda juga. Termasuk kewajiban Bunda juga perhatian ke kamu. Nah, sekarang apa yang mengganggu pikiran kamu. Cerita ke Bunda.”

Aku melirik ragu. Bunda dan Azka sangat dekat, kegelisahanku tak lain tak bukan hanya tentang Kak Fandi, aku ragu apa Bunda juga akan memarahiku seperti Azka yang selalu tak suka jika aku membicarakan Kak Fandi.

“Nadia,” Bunda menyentuh punggung tanganku. “Kamu terlihat tertekan. Anak Bunda buat kamu tertekan ya?”

Aku membasahi bibirku menggeleng pelan.

“Lalu?”

Mulutku terbuka sesaat kembali tertutup.

“Ayo, cerita ke Bunda. Pasti ada sesuatu kan?”

Akhirnya aku mengangguk. “Azka nggak suka, kalau Nadia bahas soal Kak Fandi.” Bunda tidak menyahut, ia hanya mengelus rambutku. “Maaf, Bunda. Mungkin karena Azka terlalu khawatir,” ralatku selanjutnya.

“Wajar kalau kamu khawatir dengan Kakak kamu, seburuk apapun sikapnya selama ini kepada kamu, kamu pasti tetap peduli. Bunda dulu juga begitu, Ayah Bunda sama sekali tidak menunjukkan sikap yang baik sebagai seorang Ayah, tetapi hati kecil Bunda tetap peduli. Azka tidak bisa mengerti perasaan kamu karena dia hanya punya Bunda dan Ayahnya. Tapi Bunda bisa mengerti perasaan kamu.”

Tak sadar air mataku meleleh. Bunda menghapus dengan jemari lembutnya.

“Azka bilang dia dipenjara. Dia pasti tambah stres disana.”

“Kamu  mau ketemu sama Kakak kamu?”

Aku pun mengangguk dengan cepat.

Bunda tersenyum hangat. “Sekarang ganti baju. Bunda akan cari tau dimana Kakak kamu ditahan.”

Sesaat dengan sangat semangat aku bangkit dari kursi, namun sejurus kemudian aku terdiam. “Azka...”

“Jangan tutupi apapun dari suami kamu. Sepanjang pernikahan Bunda, baik atau buruknya kita, apapun yang kita lakukan, jangan tutupi dari pasangan kita. Dia memang marah awalnya, tapi Bunda yakin tidak akan bertahan lama. Mereka sulit mengalihkan perhatiannya dari kita kan?” Bunda memicingkan matanya membuatku tersenyum. Aku tahu mereka yang dimaksud, Ayah Azka dan tentunya Azka.

***

Begitu masuk aku duduk di kursi yang disediakan. Sekitar tiga menit berlalu sudut mataku akhirnya bisa menangkap sosok Kak Fandi. Ia berdiri disana, matanya menjurus, tidak ada tatapan merunduk sayu merasa bersalah dari penglihatanku. Selanjutnya ia duduk di kursi yang juga disediakan.

Hening dan hanya saling menatap. Tak ada yang berniat memulai duluan. Lidahku serasa kelu, menanyakan kabarnya? Aku rasa konyol, sudah sangat jelas terlihat dari tubuh kurus, wajah kuyu dan rambut tak terurus itu. Mataku memicing, tak adakah kata-kata yang ingin diucapkan Kak Fandi? Semisal kata maaf.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang