Bab 2 (Azka POV)

45.4K 4.5K 123
                                    


Esoknya setelah pertemuanku dengan Nadia aku langsung mencari tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya melalui orang terdekatnya di tempat tinggalku dulu. Aku bahkan meninggalkan pekerjaanku dan mengabaikan Ayah dan Bunda.

Para tetangganya bilang kalau Kakaknya gagal dalam bisnis hingga menjual seluruh aset keluarga, dan disaat kritis seperti itu Ibunya malah jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Aku tak membayangkan bagaimana menderitanya Nadia saat itu, dan tentunya hingga sekarang.

Hari beranjak sore. Aku menghela napas dan masuk ke dalam rumah berpagar yang kutempati dulu. "Azka..." lengkingan Bibi Mia langsung kudengar.

Aku memeluknya ketika ia mendekat, aku merindukannya. Kami belum bertemu lagi, dari sejak tiga bulan yang lalu saat ia berkunjung ke rumah.

Sejak Paman Zack menikah Ayah memutuskan untuk kembali ke perusahaannya. Ia merasa beban yang ditanggung Paman Zack terlalu berat jika ditinggalkan memimpin sendirian, apalagi ia juga sudah punya keluarga. Tetapi saat itu Bibi Mia menolak ikut, ia bilang lebih nyaman tinggal di paviliunnya, dan berjanji akan sering datang mengunjungiku.

Ayah lebih sering kerja keluar kota ataupun negeri. Awalnya Bunda tetap menemaniku di rumah selagi aku menyelesaikan pendidikanku, tapi lama-kelamaan Ayah mengeluh karena jarang bertemu Bunda akhirnya Bunda meminta pendapatku, dan kurasa aku tidak punya hak untuk melarang Bunda ikut dengan Ayah. Aku merasa diriku sudah lebih dewasa untuk ditinggal sendiri.

Sejak saat itu aku lebih dekat dengan Paman Zack, dia mengajariku semua ilmu bisnis yang dimilikinya, membuat Tante Nadine terkadang cemburu karena Paman Zack lebih banyak menghabiskan waktunya denganku. Bibi Mia jadi lebih sering datang mengunjungiku. Aku juga tidak bisa kehilangan ponselku barang sedetik saja, karena Bunda akan terus menghubungiku jika ia sedang berada di luar dengan Ayah.

"Bundamu terus saja menghubungi Bibi, menanyakan apakah kamu disini. Ponselmu mati? Tidak biasanya kamu begitu," papar Bibi Mia sambil menggandengku ke dalam.

"Um... Aku lupa men-charge ponselku sebelum pergi tadi pagi," ungkapku dengan rasa bersalah karena berbohong.

"Oh. Kalau begitu ini pakai ponsel Bibi. Hubungi Bundamu, dia terdengar sangat panik tadi ketika menghubungi Bibi."

Aku mengangguk seraya menerima ponsel Bibi Mia. Sedangkan Bibi Mia langsung bergerak ke arah dapur.

"Hallo, Bun... Iya. Ini aku di tempat Bibi. Ponselku habis bateray, makanya tidak bisa angkat telepon Bunda. Pulang? ... mungkin agak larut, jangan menungguku Bunda tidur saja duluan ... Tidak. Aku tidak marah dengan Ayah ... Baik, Bun. Kalau begitu aku tutup dulu ... Hmm. Sampai jumpa."

"Kamu ada masalah dengan Ayahmu?" tanya Bibi Mia yang datang membawa nampan dan meletakkannya di atas meja ruang tengah.

"Tidak. Aku pergi memang karena ada urusan. Bukan karena melarikan diri dari Ayah."

"Baguslah kalau begitu. Ini diminum dulu."

Aku mengambil secangkir teh hangat buatan Bibi dan menyeruputnya perlahan. "Bibi. Bibi masih mengenal temanku dulu, yang bernama Nadia?"

Bibi Mia mengerutkan keningnya lalu melebarkan bola matanya, "Ah. Bibi ingat, temanmu yang selalu juara kelas itukan?" Bibi menjeda kalimatnya dan sekilas wajahnya berubah sendu. "Tapi, sayangnya yang Bibi dengar keluarganya bangkrut dan Ibunya juga sudah meninggal, sekarang Bibi tidak tahu dia dimana. Kenapa kamu tiba-tiba menanyakannya?"

"Ah. Tidak. Aku hanya tiba-tiba teringat begitu saja. Um. Bibi aku ke kamar dulu, badanku terasa pegal dan ingin istirahat sebentar."

"Oh. Baiklah."

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang