Bab 3

35.4K 4K 77
                                    

Seminggu sudah berlalu aku tidak pernah lagi melihat wajah Azka di tempat kerja. Baguslah pikir batinku, namun entah mengapa malah menyisakan sesuatu yang janggal di hatiku.

Seperti biasa, dini hari aku baru sampai di kos-an. Pulang-pulang malah basah kuyup. Di tengah badan yang kedinginan aku langsung masuk ke dalam kamar kos dan mengunci pintunya. Mencampakkan tas selempangku begitu saja dan berlari menuju kamar mandi. Bibir dan jemariku sudah mengkerut akibat kedinginan, biasanya aku sempatkan mandi kali ini hanya membilas tubuhku seadanya lalu keluar dan memakai pakaianku dengan cepat.

Seraya membalut tubuh dengan jaket tebal aku berjalan menghidupkan kompor minyak lalu menenggekkan cerek yang telah kuisi air. Sambil menunggu air matang aku melangkah menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Hujan menyisakan gerimis. Semakin lama dipandang semakin mengingatkanku akan sesuatu.

Waktu itu usiaku masih sepuluh tahun dan kami sama-sama duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Dalam rangka merayakan hari Pendidikan Nasional diadakan lomba senam se-kecamatan. Dan sekolah kami yang ikut berpartisipasi memilih beberapa siswa dan siswi kelas 4 sampai kelas 6. Aku dan Azka termasuk didalamnya, menjelang hari H kami semakin giat berlatih, tiga kali seminggu setiap pulang sekolah kami akan dilatih oleh guru olahraga.

Hari itu hari terakhir kami latihan sebelum esoknya kami berangkat ke acara, dan latihan berakhir lebih sore dari biasanya. Aku sadar ia membuntutiku pulang ketika latihan sudah berakhir tetapi aku berpura tidak mengetahuinya. Aku semakin mempercepat langkahku karena langit semakin gelap, aku berlari tapi sesekali aku menoleh kebelakang dan akhirnya aku tersandung sesuatu. Saat itu ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya dan mengulurkan tangannya untukku. Aku menepisnya dengan kasar. "Ini semua karenamu. Lututku jadi berdarah karenamu!" bentakku.

Detik itu juga hujan mulai turun, air mataku mengalir seiring dengan air hujan yang menetesi kepalaku. Rasa sakit di dengkulku semakin perih. Azka membantuku berdiri, dan kali ini aku tidak kuasa untuk mendorongnya lagi. "Maaf," cicitnya dengan suara bergetar, aku tahu jika dia juga ketakutan saat itu.

"Gimana ni! Besok pasti aku nggak bisa ikut lomba. Siapa yang suruh kamu ikutin aku kayak gitu!" omelku diiringi suara isakan.

"A—aku. Kamu nggak ada yang jemput. Jadi aku pikir.."

"Bodoh! Kamu kira aku takut pulang sendirian. Emangnya kamu yang kemana-mana harus ditemenin!" Aku memang tidak pernah di antar-jemput. Jarak rumah dan sekolahku tidak terlalu jauh, lagi pula Mama harus mengurusi beberapa pekerja yang bekerja di ladang kami. Aku juga bukan anak manja, di rumah sejak usiaku sembilan tahun aku sudah tahu kerjaan, mencuci piring, menyapu rumah, menyapu halaman.

Azka tampak semakin menciut dihadapanku. Dari jauh aku melihat ada wanita paruh baya yang datang menghampirinya, aku tahu itu orang yang sering mengantar-jemput dia selain Ayahnya. Aku langsung membalikkan badanku dan berjalan tertatih. Aku tak mempedulikannya meskipun ia berulang kali memanggilku. Aku sangat kesal, aku sudah berlatih keras menghapal semua gerakan dan hanya berakhir sia-sia.

Esoknya setelah kejadian itu aku tidak masuk sekolah Mama melarangku. Seharian berlalu aku hanya meringkuk di kasur sambil menangis, harusnya aku sudah berada di tempat acara dan menunjukkan semua hasil latihan kami. Mamaku masuk ke kamar dan membawa parcel buah ditangannya. "Azka barusan kesini. Tapi dia nggak berani ketemu kamu. Jadi cuma titip ini." Kata Mama sambil meletakkanya di atas meja.

"Iya. Dia pasti merasa bersalah!" ungkapku geram. "Dia bisa ikut lomba sementara Nadia harus menderita dengan kaki luka kayak gini."

Mama menggelengkan kepalanya. "Azka nggak jadi ikut lomba. Dia sendiri yang bilang." Aku bergeming mendengar penuturan Mama. "Lagian kamu nggak boleh gitu. Kan bukan Azka yang buat kamu jatuh."

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang