Bab 18

23.2K 3.3K 93
                                    

Azka seperti membuktikan ucapannya, tak ada acara bangun terlalu pagi dan telah siap dengan baju kerjanya bahkan disaat aku masih melenguh diatas kasur, terlalu malas untuk sekadar membuka mata. Kini ruang kamar serasa penjara bagiku, tatapan tajam Azka tak henti mengikuti kemanapun gerak-gerikku. Seolah aku tertuduh yang memiliki kesalahan menggunung, tak termaafkan apalagi dipercaya.

Aku mendesah, lagi-lagi terduduk diatas ranjang dengan buku prenatal dipangkuanku. Azka tidak bisa dikatakan libur sepenuhnya, karena selama tiga hari ini sebagian waktunya dihabiskan di meja kerjanya, selebihnya, menanyakanku pertanyaan yang itu-itu saja.

“Kenapa, butuh sesuatu?”

Aku mendengus, lagi dia menangkap hal yang mengerutkan keningnya, dia akan bertanya seperti itu. Akupun lantas menggeleng.

Dari ujung mataku kulihat Azka mendekat, ia beringsut naik dengan wajah condong ke arahku, memerhatikanku yang memalingkan wajah.

“Nadia,” sebutnya.

Aku diam. Selama Azka tidak menjawab pertanyaanku dimana  dan bagaimana tepatnya keadaan Kak Fandi sekarang, aku akan diam.

Jemarinya terasa menyisiri rambut disekitaran pelipisku. Aku menahan napas sejenak, bahkan bertahan untuk tidak tertarik memerhatikannya aku tak sanggup. Rasa kesal dan kerinduanku selalu bercampur dan susah menentukan sikap mana yang harus kuambil.

Kenapa Azka tidak kerja saja? Kenapa tidak keluar kota atau pulang malam seperti yang selalu ia lakukan? Batinku meneriakinya meski sudut hatiku menerima dengan sangat baik kenyamanan ini. Tetapi kepalaku serasa mau pecah kala mengingat Kak Fandi, tak ada jawaban apapun yang bisa menentramkan pikiranku hingga detik ini.

“Makan? Aku ambilin makan ya?”

Bola mataku tertarik untuk menoleh, wajah yang sangat kukenali itu menatapku dengan ekspresi yang seolah diusahakan tenang. Aku mengerjap sekali, Azka tak mengalihkan tatapannya. Dengan berani aku memegang lengannya. Memohon melalui tatapanku.

“Aku butuh makan, tapi aku lebih butuh kabar tentang Kak Fandi,” lirihku.

Air muka Azka berubah tak senang. “Aku ambilkan sebentar,” katanya lagi hendak bangkit namun aku tetap menahan lengannya.

“Kamu bilang mencintaiku, tapi kenapa kamu nggak berusaha mengerti aku Azka?”

Tatapan Azka berubah semakin tajam. “Lalu bagaimana denganmu? Bahkan hingga detik ini aku belum pernah mendengar kamu membalas kata cintaku.”

“Aku mencintaimu Azka, tanpa perlu kukatakan aku pikir kamu sudah bisa merasakannya. Aku mencemburuimu, nggak suka kalau kamu pulang terlambat, dan disini,” aku menyentuh perutku, “aku nggak akan pernah izinkan kamu sentuh aku sejak pertama kalau aku nggak ada rasa sedikitpun sama kamu. Tapi sekarang bukan ini inti permasalahannya Azka. Seburuk apapun dia tetap kakak kandungku, dan aku hanya bertanya dimana Kak Fandi saat ini. Hanya pertanyaan sesimpel itu.” 

“Aku bukan nggak mau menjawabnya Nadia. Kamu tanya kenapa aku nggak berusaha mengerti kamu. Aku bahkan sangat mengerti sifat kepala batumu itu. Setelah aku menjawabnya kamu akan menuntut yang selanjutnya.”

“Nggak. Aku nggak akan nuntut yang selanjutnya. Aku janji. Aku nggak bisa tidur tenang setiap malam Azka... Kamu tau kan?”

Azka terlihat menahan napasnya, memerhatikanku lekat dengan wajah yang tampak sangat meragu.

“Azka...” liriku lagi mengelus lengannya.

“Kenapa kamu nggak membencinya? Seharusnya kamu membencinya—“

“Aku sangat membencinya Azka... aku mengumpat dan ingin memakinya setiap saat. Aku nggak akan lupa sama semua yang dia lakukan ke aku. Tapi dia—sebenci apapun aku nggak bisa nggak peduli sama dia, tetap aja nggak bisa. Aku sudah berusaha, selama tinggal disini aku berusaha nggak memikirkannya, berapa banyak hutang yang akan ditinggalkannya? Apa dia makan atau tidak? Aku sudah berusaha Azka... “

Ibu jari Azka menghapus titik air yang hendak mengaliri wajahku. “Jangan menangisi Kakak brengsekmu itu. Aku nggak suka.”

Aku mengusap mataku dengan jemariku cepat. Lalu bergerak merapat ke tubuhnya. Memenjarakan mataku ke bola matanya lalu menyentuh pipinya. “Iya. Aku nggak akan buang-buang airmataku demi dia didepanmu,” kataku sebelum mengecup bibirnya.

Azka menatapku dingin. Aku kembali mendaratkan bibirku disana. Berusaha melumatnya. Namun, Azka tetap tak bergeming, ia sama sekali tak memberikanku akses untuk memasukkan lidahku ke rongga mulutnya. Aku menarik kepalaku, tak menyerah mengecupi tiap sudut bibirnya. 

“Aku tau kamu sedang merayuku. Kali ini aku akan jawab pertanyaanmu. Tapi semua janji yang terucap dari mulutmu, harus kamu penuhi.”

Aku mengangguk cepat. Azka menarik daguku, memangut bibirku dengan brutal. Bergerak memaksa diatas bibirku hingga sulit mengimbanginya. Kepalaku memiring, tersentak saat Azka menggigit hingga membuka akses ke rongga mulutku. Jemari Azka sudah bergerak teratur dari pundak hingga menyentuh bokongku. Aku melenguh menarik erat kaus Azka dengan gerak tanpa sadar semakin merapatkan tubuhku ke tubuhnya.

Azka menjauhkan kepalanya mengambil napas sedalam-dalamnya, begitupun dengan diriku. Napasnya berubah teratur sementara tanganku masih menggenggam erat kausnya. Aku yakin saat ini wajahku sangat memerah.

Hening menyeruak, entah berapa lama kami saling mengunci tatapan.

“Dipenjara. Mantan istrinya memenjarakannya.” Kata Azka memecah kebisuan.

Mulutku menganga tanpa diperintah, lantas dengan tangkas membekap mulutku.

“Tepati janjimu Nadia,” seru Azka berujar tegas saat melihat mataku beralih.

Aku menggigit bibir bawahku kuat menengadahkan wajahku, menolak air mata yang hendak turun. Setidaknya tidak didepan Azka.

“Ayo. Kita makan.” Azka menarik tanganku dalam genggamannya.

Aku menahannya. “Kamu bilang mau ambilkan.”

“Nggak. Kita makan sama-sama di ruang makan.”

Azka benar-benar mengujiku, dia pasti tahu isi kepalaku.

“Oke. Aku ke kamar mandi dulu.”

“Mau apa? Mau menangis sepuasnya?” Aku tak menjawab. Azka membawaku kedalam pelukannya. “Hanya kali ini. Menangislah sepuasnya.”

Aku mulai mengeluarkan isakan. Kak Fandi sudah menjalani hidupnya dengan buruk, dan sekarang bertambah buruk. Terakhir kali ia berniat menghabisi nyawanya juga nyawa kami, lalu bagaimana dengan sekarang. Tak bisa membohongi batinku, aku sangat mengkhawatirkannya.

Tangan Azka merambat mengelus punggungku teratur. Aku mengeratkan kaitan tanganku ditubuhnya.

“Itu setimpal dengan apa yang dilakukannya. Dia pantas menjalani hukumannya disana. Mulai sekarang tanamkan dibenakmu kalau kamu hanya punya aku.”

Aku tak menjawab, masih menenggelamkan kepalaku didekapan Azka.   

    

-TBC-
15/07/2017 Liarasati
Sorry for typo.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang