Bab 9

30.5K 3.8K 65
                                    

Seolah kembali ke dalam dunia mimpi. Setiap aku terbangun dan berada dikamar Azka, aku merasakan diriku berada di dimensi dunia yang lain.

"Pagi Nyonya," sapanya saat aku membukakan pintu. Aku terdiam beberapa detik. Ah, ini pasti Bibi Mia yang dikatakan Azka, aku juga masih mampu mengenali wajahnya.

"Pagi," sahutku menyambut senyumannya. "Bibi bisa memanggilku dengan nama saja."

"Ah, itu tidak sopan."

"Aku lebih nyaman jika Bibi memanggilku Nadia," ujarku berkeras.

"Ya, baiklah Nadia."

"Itu terdengar lebih enak didengar." Sahutku.

Kompromi singkat itu berlanjut ke ruang makan. Aku memaksa Bibi Mia untuk menemaniku. Rasanya memang tak enak duduk di meja makan besar itu seorang diri.

Selepas sarapan Bibi Mia menuntunku ke suatu tempat. Ini kebun di atas atap. Aku menganga tak berkedip menatap pesona yang terbentang dihadapan mata. Rimbunnya pohon besar yang terletak ditenganya dan warna-warni dari balik bunga-bunga yang begitu indah, sangat memanjakan mata.

"Bibi sudah minta ijin Bunda Azka untuk mengajakmu kesini. Tempat ini sengaja dibuat Ayah Azka untuk Bundanya."

Benarkah? Aku semakin terperangah. Benarkah Ayah Azka yang terlihat sangat dingin itu mempunyai hal yang seromantis ini. Menyejukkan siapapun pasti betah berlama-lama disini. Bibi Mia duduk di sebuah kursi taman aku pun mengikutinya.

Bibi Mia kembali memulai percakapan. Ia bercerita banyak tentang kehidupan Azka ketika kecil. Seringkali aku tersenyum saat Bibi Mia menceritakan kebodohan yang dilakukannya. Sangat khas Azka, tapi sepertinya sekarang ia sudah jauh berubah.

"Azka orang yang santun dan penurut seperti Ibunya. Ketika terakhir kali ia menemui Bibi, ia minta ditemani ke suatu tempat. Tempat itu ternyata adalah sebuah makam. Makam Ayah dan Ibumu."

Aku tercekat dengan padangan tak percaya ke arah Bibi Mia. "B—benarkah Bi?"

"Iya. Dia bilang ingin meminta restu kedua orang tuamu."

Gumpalan ditenggorokanku semakin sulit tertelan. Informasi yang barusan ku dengar kontan menggetarkan batinku. Azka. Kini aku tak menampik, ia benar-benar peduli padaku. Seketika itu saja rasanya air mata mengenang dipelupuk mataku.

"Aku bahkan sudah lama tidak kesana," gumamku.

"Azka bilang kamu sangat suka membaca. Habis ini Bibi akan menunjukkanmu ruang perpustakaannya. Buku-buku yang ada di kos mu juga telah dipindahkan kesana."

Aku mengambil cairan yang terasa turun dari sudut mataku. Azka rasanya aku ingin dia disini sekarang juga dan berterima kasih.

***

Hari ketiga Azka pergi. Bibi Mia datang membawakan teh, tadi ia menawarkan untuk menghabiskan pagi di teras samping yang menghadap ke hamparan rumput hijau nan luas.

"Bibi aku seperti kerbau pemalas. Tanganku begitu gatal jika tidak melakukan sesuatu." Bibi Mia tersenyum. Senyumannya selalu mengingatkanku akan senyuman Mama. Andai dia disini. "Apa Bibi punya usul?" tanyaku lagi.

"Um. Berkebun? Menanam bunga? Bibi sering melakukan itu untuk menghabiskan hari."

Aku segera terlonjak berdiri. "Itu ide bagus. Dulu Mama juga sering melakukannya. Ayo, Bi!" ujarku begitu bersemangat.

"Kalian mau pergi ke suatu tempat?" aku segera mengarahkan pandangan ke sumber suara. "Bunda.." ujarku dengan mata membulat.

Aku mendekat dengan pandangan mengedar ke bagian dalam rumah. Ibu Azka tertawa kecil. Aku segera mengerutkan kening dan untuk sepersekian detik aku merunduk karena malu.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang