Bab 8

33.7K 3.8K 73
                                    

Versi lengkap telah tersedia di google playbook
.
.

Aku mengalihkan tatapanku ketika Azka keluar dari kamar mandi seraya menyapukan pelembab permukaan bibirku. Penampilan Azka terlihat sangat santai hanya mengenakan sweater wol lengan panjang berwarna cokelat muda dan celana panjang berbahan katun dengan warna senada.

Bangkit dari kursi rias aku melirik penampilanku sendiri dari kaca cermin. Dress putih biru berlengan pendek dengan panjang selutut. Aku seperti hendak pergi ke jamuan makan malam sedangkan dia seolah hendak kembali pergi tidur.

"Kenapa?" tanya Azka yang melihatku mematung.

"Apa aku nggak bisa pakai pakaian kayak gitu juga. Pakai celana gitu?" tanyaku dengan nada protes.

Azka menggelengkan kepalanya. Sontak aku menghentakkan kaki dan berjalan membuka pintu. Gerakanku terhentak saat tiba-tiba Azka sudah menarik tanganku dan meletakkan dipinggangnya. Sedangkan tangannya mengalung di bahuku. Seketika itu aku melemparkan pelototan. "Pengantin baru harus bersikap mesra," bisiknya di telingaku.

Aku hanya bisa mendengus, meski diri ini rasanya ingin berontak. Sampai di meja makan senyuman langsung menghiasi bibir Ibu Azka. "Kok, pagi banget bangunnya." Sapanya ketika kami mendekat.

Senyumku tertarik tipis menanggapi sapaan Ibu Azka. "Ini juga udah siang Ta—Um, Bunda." Aku melipat lidahku sendiri rasanya masih asing mengganti sebutan Tante menjadi Bunda. Ayah Azka datang dan hanya melemparkan tatapannya sebelum duduk di kursinya. Hingga detik ini aku masih merasa sangat segan dengan Ayah Azka, meski menurut pengakuan Ibu Azka memang sifatnya yang jarang bicara. Sama seperti ketika sesekali aku memperhatikannya semalam. Ia seperti hanya bercakap kalau tidak dengan Paman Zack ya Opa Luis. Aku jadi penasaran bagaimana Ibu Azka bisa bertahan dengan Ayah Azka.

Lamunanku terputus saat melihat Ibu Azka mengambilkan sarapan untuk suaminya. Aku jadi melirik ke arah Azka. Nasi, roti, atau bubur. Kenapa juga makanan di meja ini lengkap sekali, aku tidak ingat Ibu Azka pernah mengatakan apa untuk sarapan favorit Azka. Menarik napas aku mendekatkan kepalaku ke Azka. "Mau makan apa?" tanyaku lebih kepada berbisik.

"Roti aja. Aku nggak bisa makan banyak kalau mau melakukan penerbangan."

Keningku berkerut. "Kamu mau pergi? Kemana?"

Azka menarik senyumnya. "Mau pergi bulan madu," katanya. "Dengan isteriku," lanjutnya dengan wajah memicing jahil. Aku tidak tahu Azka mempunyai kemampuan mengerjaiku seperti ini. Dengan sengaja aku menendang kakinya. "Arghh.." desisnya tertahan.

"Ada apa? kenapa kalian tidak lanjut makan," sahut Ayah Azka.

Aku gugup dan segera mengambil lembaran roti dan mengisinya dengan selai... aku melebarkan mataku ke Azka. "Kacang saja."

Selesai sarapan lengkap dengan aksi pura-pura mesra aku segera menarik tangan Azka ke kamar. "Kapan perginya? Kemana?" tanyaku dengan nada meninggi.

"Ya, sekarang. Cuma ke resort keluarga, barangkali dua atau tiga hari."

"Kenapa nggak bilang dari semalam," ucapku seraya berjalan cepat ke walk in closet, "Tahu gitukan aku bisa berberes dari tadi malam."

Azka kembali menarik tanganku. "Suka banget sih narik-narik tangan orang!" decakku sebal seraya menariknya lagi cepat.

"Ya, kamu mau ngapain. Barang kita udah siap di packing," Azka menunjuk dua koper yang ada di sudut ruangan.

Mukaku saat ini pasti memerah, tindakanku rasanya terlalu berlebihan dan terkesan kuno. Tentu saja. Banyak pelayan disini, dan aku masih meribetkan hal-hal lain dikepalaku. "Oh." Hanya itu akhirnya yang terlontar dari bibirku.

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang