Bab 11

29.3K 3.5K 68
                                    

Lima hari berlangsung gejala morning sickness itu tetap sama. Melanda di waktu-waktu yang telah kuprediksi, pagi-pagi sekali dan terkadang malam hari. Meskipun aku selalu menangkap raut cemas di mata Azka, tetapi aku selalu mendorongnya untuk bersikap biasa saja. Hamilkan bukan penyakit, jika memang harus mengalami mual itu hal wajar.

Mungkin benar dari beberapa artikel yang kubaca, kalau wanita hamil akan berubah menjadi sedikit manja. Dan aku sangat memanfaatkan itu ketika Azka pulang. Bergelung dipelukannya sambil ia mengusap punggungku. Rasa nyaman itu sangat kunikmati. Malam adalah waktuku, aku bahkan sudah mengatakan tegas pada Azka dan berdalih bahwa anaknya yang meminta itu.

Aku duduk bersandar pada sofa kamar sambil memandangi Azka yang telah rapi berjalan keluar dari walk in closet, sarapan pagi lengkap telah tersedia di meja di depanku sementara aku belum sempat mengunyah barang sesendok sudah mual-mual dari sejak bangun tadi.

"Aku suapin ya?" tawarnya saat duduk disebelahku.

Kontan aku menggelengkan kepalaku. "Nanti aku abisin," jujur kepalaku masih pusing.

Azka memperhatikanku dengan raut wajah cemas.

"Udah, sana... Nanti kamu telat, Ayah kan lagi nggak disini."

Ayah mertuaku sudah pergi dari dua hari yang lalu untuk melakukan perjalanan bisnisnya, sementara Ibu Azka sengaja tak ikut karena ingin menemaniku. Belakangan aku memang mengerti sibuknya pekerjaan Azka dan Ayahnya setelah Ibu Azka yang setiap hari denganku terkadang bercerita tentang pekerjaan mereka.

Apalagi Azka memang belum sepenuhnya dipercaya oleh Ayahnya, ia juga masih dalam tahap belajar. Aku juga tidak mau menjadi isteri yang manja yang apa-apa harus merengek pada Azka.

"Kok diem?" tanyaku saat Azka tak kunjung bangkit.

"Apa sebaiknya kubatalin aja ujian kamu?"

Kontan aku mendelik, "ya nggak bisa dong, Azka... aku kan udah belajar tiap hari."

"Ya, kan bisa ditunda sampai kamu habis melahirkan."

"Nggak. Aku nggak mau ujian aku dibatalin," sahutku tegas dengan suara meninggi. Rencana yang udah aku susun nggak boleh berantakan. Setidaknya setelah aku melahirkan aku sudah mengantongi ijazah SMA. Semakin kesini memang aku sedikit bimbang akan melanjutkan pendidikanku nantinya atau tidak. Tetapi, paling tidak dari semua impianku yang tidak tercapai ijazah SMA adalah harapanku.

Azka terlihat menghela napas. "Ya sudah. Aku pergi dulu," ucapnya lalu mengecup keningku.

***

Aku menghentikan pandanganku dari gambar buah mangga yang ada didalam majalah parenting yang kupegang. Aku menjilat bibirku makan rujak di siang hari seperti ini mungkin enak, pikirku. Aku segera bangkit dan hampir saja bertubrukan dengan Ibu Azka yang hendak masuk.

"Hati-hati Nadia," ujarnya panik saat aku menyeimbangkan tubuhku.

"Maaf, Bunda."

"Memangnya kamu mau kemana kok buru-buru?"

"Um. Itu... Nadia pengin makan rujak."

Ibu Azka tertawa kecil dan langsung menarik tanganku.

Tak butuh waktu lama aku langsung mendapatkan sepiring rujak di depan mataku. Koki disini sepertinya memang handal membuat makanan apapun.

Baru aku memakannya sesuap Ibu Azka sudah permisi karena suaminya menelepon. Alhasil aku makan sendiri di meja besar itu. Aku memakan sesuap lagi, tiba-tiba moodku mendadak turun. Apalagi rasanya sama sekali tidak ada pedas-pedasnya. Bagaimana rasanya jika Azka yang menyuapkan ke mulutku? Apa rasanya akan berbeda?

Play Me Like A ToyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang