#29

1K 36 1
                                    


"Takdir memang gila! Iyakan?"





Erinda menghentikan mobilnya ditengah-tengah pertanyaan Archy. Matanya tak mau menatap Archy, dan masih memandang jalanan didepannya.

"Siapa Michel, Rin?" Archy memegang lengan Erinda.

"Kenapa memangnya?" Erinda menatap Archy tanpa ekspresi.

"Apa peranan Michel dalam hidup gue? Dia adalah sesuatu yang hilang?"

"YA!" Tanpa ragu Erinda menjawabnya dengan tegas. Archy terdiam sesaat lalu kembali melanjutkanperkataannya.

"Apa peranan itu?"

"Bagaimana bisa gue kasih tahu ke elo semua hal, sedangkan lo gak bakalan ingat apapun"

"Tahu dan percaya adalah dua hal yang berbeda Ar!" Lanjut Erinda menjalankan mobilnya. Selama perjalanan Archy hanya diam sembari menatap jalan dari jendela mobil disebelahnya. Sedang Erinda juga begitu, masih terus fokus menyetir tanpa berkata apapun.

"Maaf, tapi gue mau lo pulang!" Erinda memberhentikan mobilnya didepan halaman rumah Archy, rencana yang tadinya akan kerumah Erinda gagal karna kejadian tadi. Archy tak menjawab dan langsung keluar dari mobil dan berjalan tanpa menoleh sedikitpun kemobil Erinda.

"Aku pu-" kata Archy terhenti memerhatikan keheningan rumahnya yang besar.

"Mih?" Sahut Archy sembari berjalan menuju tangga, namun tak ada jawaban.

"Dean?"

"Iya kak?" Balas Dean dari lantai atas.

"Kok sepi?" Archy menghampiri Dean dikamarnya.

"Mami kan suka pergi kerja, cuman ada aku and Bibi dirumah. Nanti Bibi pulang kalo udah sekitaran jam 6" Dean sedang mencari buku pelajarannya yang akan dia bawa kerumah Naufal.

"Lo mau kemana?"

"Ke rumah naufal, hati-hati dirumah yah! Bye" Dean meninggalkan Archy dikamarnya yang masih terduduk diranjangnya.

"Emm" Archy memperhatikan kamar Dean yang sama sekali dia tidak ingat, juga foto keluarganya dimeja belajar. Bingkai hitam kecil yang sedikit berdebu itu ada foto Dean yang masih kecil, Archy yang merangkul Mami nya dengab tawa bahagia disuatu taman, dan potongan foto seorang lelaki juga ikut tersenyum.

"Siapa?"

"Papi?" Archy memperhatikan seorang laki-laki yang tidak dikenalnya.

Archy menuju kamarnya setelah menutup pintu kamar Dean. Jam menunjukkan pukul 5, suasana hening dirumahnya sekarang semakin terasa setelah Bibi pulang, dan matahari yang terbenam.

"Haah" Archy menghempaskan tubuhnya berbaring keranjang dengan seprai abu-abu nya yang baru saja diganti. Aroma mawar dikamarnya disertai angin yang masuk dari jendelanya membuatnya mengantuk. Tangannya meraih handphone lamanya yang sedikit retak karna kecelakaan itu.

"Wah masih nyala" Archy terduduk diranjang melihat handphone yang hanya iseng dia nyalakan dan ternyata bisa.

Sebuah walpaper handphone membuat matanya tak berkedip untuk beberapa detik, tangannya lemas hingga melepaskan handphone yang dia genggam jatuh kepangkuannya.

"Michel"

"Gak mungkin!" Ekspresi santai Archy berubah menjadi kekhawatirannya. Tangannya kembali mengambil handphonenya, membuka galeri dan mencari sepotong memorinya yang masih tersimpan dihandphonenya itu.

"Hah...hah..hah" nafasnya berat, air matanya jatuh membasahi wajahnya. Archy tak bisa menahannya melihat banyak sekali foto Michel bersamanya, diperkemahan itu, disekolah, dirumahnya, segala tempat dia berada. Tapi disamping itu foto Fandy dan Michel yang dia rangkul saat festival.

"Fandy" air matanya semakin deras semakin dia melihat semua foto itu, jarinya menekan Aplikasi Line, mencari nama Michel dan Fandy diobrolannya.

Tangan perempuan yang dia panggil tadi sekarang sudah menggambil ponselnya.

"Mih!" Archy bangkit sembari menatap Maminya yang mengambil ponselnya.

"Mih balikin!" Tegas Archy kesal.

"CUKUP Ar!" Teriak Mami dengan nafasnya yang berat membuat Archy kaget, baru kali ini mendengar Suara tinggi Mami.

"Kenapa Mih? Kenapa Mami sembunyikan? KENAPA!" Teriak Archy sembari menangis dengan derasnya.

"Karna Mami gak mau kehilangan kamu Ar!"

"Tapi itu salah Mih!"

"Apa yang salah HAH! Kamu memang gak ingat, tapi Mami udah berjanji bahkan setetes air matapun gak akan keluar dari matamu Ar!"

"Pada siapa? Papi? Bahkan papi lah yang membuat Archy menangis selama sebulan lamanya, iyakan?"

Mami Archy terduduk diranjang mendengar perkataan Archy.

"Kamu ingat?"

"Sedikit Mih" suara Archy memelan dan ikut duduk disamping Maminya yang sekarang juga ikut menangis.

"Maaf Mih" Archy memeluk dengan eratnya.

"Mami juga, mami lakuin ini buat kebaikanmu sayang"

Archy hanya menggangguk masih memeluk Maminya.

"Jika sudah saatnya, kamu boleh memilih jalanmu sendiri sayang" kata Mami pelan, Archy yang mendengarnya meneteskan air matanya dan memejamkan matanya.


Archy terbaring diranjang kamarnya yang gelap, menatap jendela kamarnya yang terbuka. Sedikit cahaya pelan-pelan memasuki kamarnya. Seorang laki-laki melangkah pelan mendekatinya, bayangan wajahnya yang gelap membuat Archy sedikit takut.

"Ar!" Suaranya yang tak asing membuat Archy bangkit dan
Mendekatinya.

"Siapa? Fandy?"

"Emm" fandy menggenggam tangan Archy lalu berjalan perlahan menuju mobilnya.

"Ini udah jam berapa Fan! Gue ngantuk"

"Ikut gue bentar" fandy menggas mobilnya ditengah kegelapan malam dijam 2 lewat.

"Inikan?" Archy keluar dari mobil Fandy melihat sekeliling tempat yang dituju Fandy.

"Ya, tempat festival"

"Lo ingat? Saat senyum lo menjadi senyum yang paling bahagia ditempat ini, menjadi satu-satunya senyum terindah dalam mimpi gue"

Archy menatap Fandy yang memandang permainan festival yang sudah tak bergerak, lampu disekitar juga sudah redup. Tak ada orang melainkan hanya mereka berdua lah yang berdiri ditengah-tengah kesunyian tempat ini.

"Fan? Kita pernah kesinikan? Dengan orang lainnya?" Tanya Archy, Fandy seketika mengalihkan pandangannya kemata Archy.

"Ya! Aku salah atas semua yang terjadi. Tapi Ar, bisa kah semua hal yang lo lupakan biarlah terlupakan?"  Fandy memegang pundak Archy sembari menundukkan kepalanya sejajar dengan wajah Archy.

"Bagaimana Fan?" Mata Archy berkaca-kaca sembari menatap wajah senduh Fandy.

"Liat gue Ar, teruslah begitu. Jangan liat apa yang dibelakangmu, liat gue yang berada tepat didepan lo! Pegang tangan gue, tersenyumlah seperi tak ada yang terjadi" terukir senyum manis dibibir Fandy, tangannya menghapus air mata Archy yang baru saja akan jatuh kepipinya.

"Emm" Archy mengngangguk lalu ikut tersenyum, tangannya merangkul pinggan Fandy.

"Gitu dong!" Kekeh Fandy memeluk Archy sembari mengelus rambut Archy yang sedikit kusut.

"Gue harap tak akan ada kata perpisahan lagi" batin Fandy.

1 menit 20 detikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang