Chapter 11

41 8 0
                                    


Amsterdam, Belanda

Tak terasa aku dan kak Ferdy sudah sampai di negara kincir angin ini. Tepatnya di Amsterdam setelah menempuh perjalan kurang lebih empat belas jam. Negara ini sangat berbeda jauh dengan Indonesia. Ya, tentu saja. Disini, udaranya bersih, tidak ada sampah yang berserakan, warganya pun tertib. Aku suka dengan negara ini. Sangat suka. Bahkan aku selalu berharap ayah pindah ke negara ini.

"Heh! Biasa aja liatnya!" cibiran kak Ferdy membuatku terkejut. Aku malu dibuatnya. Sepertinya sedari tadi aku melihat pemandangan ini terlalu berlebihan. Saking malunya, aku langsung menundukan wajahku.

"Kampungan lo!" kak Ferdy memutar kedua bola matanya. Biarlah, aku tidak menghiraukan ucapannya. Aku sudah kebal pada sifatnya ini.

Ini sudah malam, dan udara pun semakin dingin hingga menusuk sampai tulang. Aku dan kak Ferdy harus segera mencari hotel untuk istirahat.

"Kak, ayo cari hotel.." kataku pada kak Ferdy yang langsung dijawab anggukan olehnya.

Setelah hampir setengah jam kami mencari, akhirnya kami sudah menemukan salah satu hotel di pusat kota Amsterdam, yaitu hotel NH Collection Amsterdam Barbizon Palace.

Aku hanya duduk, menunggu kak Ferdy yang sedang check-in. Setelah semua beres, kak Ferdy menghampiriku. Tapi anehnya, kak Ferdy hanya membawa satu buah kunci.

"Kok kuncinya satu kak?"

Ia mendecak. " Lo kan sakit, gue males kalo harus bolak-balik liatin lo ke kamar."

"Kata siapa Slova sakit?" aku menaikan sebelah alisku.

"Masih mau ngelak kalo lo nggak sakit?"

"Emang bener. Orang Slova cuma flu doang kok."

"Tapi kan tetep aja. Kalo tiba-tiba demam atau sakit yang lebih parah gimana? Gue kan nggak bakal tau. Lagian, gue udah di amanatin sama ayah lo." kak Ferdy menjawabnya dengan cepat.

Aku hanya mengangguk-angguk tapi sambil menahan tawa karena kak Ferdy menjawabnya begitu cepat.

"Tenang, gue nggak akan macem-macem."

Aku tersenyum, karena aku percaya kak Ferdy ini orang baik.

~~~~~

"Tidur gih!" tunjuk kak Ferdy kearah kasur dengan dagunya.

"Terus, kakak tidur dimana?" tanyaku cemas.

Kamar yang dipesan kak Ferdy ternyata berukuran luas. Kamar ini menampilkan balok kayu ek dan langit-langit yang tinggi dari abad ke-17. Fasilitas kamarnya juga lengkap dengan AC, TV kabel, bahkan mesin pembuat teh dan kopi pun ada.

"Nggak usah ngurusin gue deh, lo tidur duluan aja." jawabnya sambil membereskan barang-barang yang ia bawa.

Melihat kak Ferdy seperti itu, membuatku ingin membereskan barang-barang juga. Hingga tiba-tiba.. "HACHIIMM!!" mulailah aku bersin lagi. Hidungku sangat gatal sekarang. Bahkan aku merasa sangat kedinginan.

"Lo nggak nurut banget sih?! Gue bilang, tidur! Kumat lagi kan bersinnya!"

Aku memencet hidungku kuat-kuat. "Belum beres-beres kak."

"Biar gue aja." katanya datar.

Aku menggeleng. "Nggak mau."

"Nurut demi gue bisa?!" mata kak Ferdy yang biasanya terlihat teduh, kali ini menatap mataku dengan tajam. Membuatku mati kutu.

"Cepet tidur!"

Terpaksa aku mengikuti kemauan kak Ferdy. Karena jika tidak, ia akan semakin marah. Aku berjalan menuju kasur, dan ternyata kak Ferdy membuntutiku dari belakang. Dengan ragu-ragu, aku merebahkan tubuhku diatas kasur. Kukira, kak Ferdy membuntutiku itu untuk membawa selimut yang akan ia kenakan untuk tidur. Tapi nyatanya bukan, ia malah menyelimuti tubuhku.

Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang