Chapter 14

39 7 2
                                    

Keesokan harinya aku terbangun dari tidur. Baru pukul tujuh tepat ternyata. Semalam sepertinya aku ketiduran saat sedang duduk di kursi dekat kasur Zein. Dari kemarin, aku memang tidak pulang dulu ke rumah. Jadi, sampai sekarang aku masih mengenakan baju seragam sekolah. Mungkin, orang-orang rumah khawatir padaku. Karena aku lupa mengabari mereka. Ponselku tertinggal di dalam mobil. Jadi, kuputuskan untuk kembali dulu ke rumah. Untuk mengganti baju, membawa makanan dan kembali lagi kesini.

Sesampainya di rumah, aku melihat bi Iyem sedang mengepel ruang tengah. Ia menatapku dengan tatapan gembira, yang membuatku bingung. Sejurus kemudian, bi Iyem meletakan lap pel dengan asal dan menghampiriku dengan tergopoh-gopoh. "Ya ampun non.. Kemana aja? Bibi khawatir non.." katanya sambil memutar-mutar tubuhku.

Aku nyengir melihat sikap bi Iyem yang mudah khawatir ini. "Hehe, Slova abis dari rumah sakit."

"Kenapa nggak bilang sih non? Nyonya sama non Slavina khawatir berat.."

Oh ya? Dalam hati aku tidak percaya itu. Kalau iya mereka khawatir berat, mengapa mereka tidak mencariku? Atau menghubungiku? Buktinya saja, saat aku memeriksa ponsel, tidak ada panggilan dari mama maupun kak Slavina. Baiklah, aku tidak peduli mereka khawatir atau tidak.

Aku hanya menyeringai.

Singkatnya, aku segera pergi ke kamar untuk membersihkan diriku. Kata bi Iyem, mama baru saja pergi belanja bersama teman-temannya. Sedangkan kak Slavina baru saja pergi bersama kak Arsen­––pacarnya. Ayah? Mana mungkin ia tahu kalau aku tidak ada di rumah. Ayah selalu sibuk pergi ke luar kota atau luar negeri. Tentu, aku yakin bi Iyem berbohong padaku. Mana mungkin mama dan kak Slavina khawatir berat, bila pada akhirnya mereka bersenang-senang? Dasar!

Setelah semuanya selesai, aku pergi ke dapur untuk menghampiri bi Iyem.

"Bi, masakannya udah jadi?" sebelumnya, aku meminta pada bi Iyem untuk membuatkan nasi goreng, yang nanti akan kubawa ke rumah sakit.

Bi Iyem mengangguk, lalu menyodorkan kotak makan kearahku. Sejurus kemudian aku mengucapkan terima kasih dan pamit pada bi Iyem untuk kembali ke rumah sakit.

~~~~~

Aku berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Menuju ke kamar rawat Zein. Kedua tanganku menggenggam kotak makan yang berisi nasi goreng tadi. Akhirnya, aku sudah berdiri tepat di depan kamar rawat Zein. Kubuka pintunya perlahan, dan.. PRANG! Seketika itu juga kotak makanku terjatuh. Tanganku lemas saat melihat dia sudah membuka matanya. Nasi goreng yang tadi kubawa sudah berceceran dimana-mana. Zein sudah sadar!

Zein tersenyum lemah saat melihatku. Tanpa mempedulikan nasi goreng yang berhamburan, aku langsung berlari dan memeluk Zein erat. Aku menangis di pelukannya, menangis terharu lebih tepatnya.

Setelah cukup lama aku memeluknya, aku cukup tenang dan langsung melepaskannya. "Dasar cengeng!" gurau Zein yang suaranya terdengar serak.

"Khawatir tau.." kataku sambil menyeka air mata.

Zein hanya tersenyum. "Gimana liburannya? Pasti rame ya?" tanpa kuduga sebelumnya, Zein malah bertanya perihal aku berlibur dengan kak Ferdy ke Belanda. Baru saja sadar, kan jadi nggak enak ke aku.

"Apaan sih?" jujur saja bukannya senang Zein memberi pertanyaan seperti itu, tapi yang ada aku malah kesal.

"Emang kenapa? Aku nggak salah kan?"

"Iya, jangan nanya itu dulu."

"Kenapa?"

Aku bingung harus menjawab seperti apa. Jadi aku hanya diam. Zein terus menatapku dengan raut wajah yang menunggu jawaban dariku.

Broken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang