Pagi ini di sekolah, Zein disambut hangat oleh teman-teman dikelas. Tentu saja, ini hari pertamanya lagi masuk ke sekolah setelah kurang lebih 2 minggu Zein tidak masuk karena sakit. Aku tersenyum tenang melihatnya, Zein kembali ceria bersama teman-teman yang lain.
Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama pagi ini adalah pelajaran olahraga. Kami semua berhamburan keluar kelas untuk mengganti pakaian di toilet. Setelahnya, kami semua—murid X-IPA3—pergi ke lapangan basket.
Pak Rudi—guru olahraga di SMA-ku ini—memberitahu bahwa pelajaran olahraga sekarang adalah lomba lari mengelilingi sekolah.
Saat aku mengetahuinya, dengan segera aku mengamit tangan Zein. "Sama aku ya larinya." kataku lalu nyengir kuda.
Kening Zein berkerut heran. "Eh?" tapi aku hanya nyengir saja. Aku sengaja melakukan ini. Aku takut terjadi apa-apa pada Zein, karena ia belum sembuh total.
Peluit milik pak Rudi sudah terdengar ditelinga kami, tanda lomba lari dimulai. Zein berlari disampingku, tepatnya di tengah-tengah anak yang lainnya, tidak terlalu depan, pun tidak terlalu belakang.
Zein tiba-tiba berhenti, napasnya memburu. Tangan kanannya memegang dadanya yang naik turun tak keruan. "Be..bentar.. A..aku capek.." katanya susah payah. Padahal ini baru setengah jalan. Teman-teman yang lain sudah jauh di depan kami, hingga akhirnya kami berada diposisi paling belakang. Aku mengikuti kemauannya. Bagaimanapun juga, Zein baru sembuh.
"Udah yuk." Zein mulai berlari lagi. Aku mengikutinya dari belakang. Belum saja jauh dari tempat kami berhenti tadi, Zein sudah berhenti lagi. Kali ini ia terduduk dengan posisi kaki yang diselonjorkan. Keringatnya sudah bercucuran deras disekitar pelipisnya. Ini belum seberapa pikirku, tapi kenapa keringat Zein sudah banyak seperti itu?
Aku berjongkok menyejajarkan posisi dengan Zein. Zein menggenggam tanganku kuat, hingga—jujur—saja aku merasa kesakitan. Apalagi Zein itu lelaki. Raut wajahnya tampak seperti orang yang menahan sakit. Aduh ya Tuhan, apa yang terjadi pada Zein lagi? Aku mulai panik, sepanik-paniknya.
"Slova, aku nggak tahan.." katanya dengan suara parau. Tak lama, genggaman tangan Zein padaku melonggar. Zein pingsan!
"ZEIN!!!" seruku. Aku mengguncang tubuh Zein yang terbaring diatas tanah. Wajahnya memang sudah pucat semenjak tadi pagi. Aku jadi merasa bersalah. Seharusnya dari awal aku melarang Zein untuk tidak ikut pelajaran olahraga. Mengingat kondisinya yang belum benar-benar sembuh.
Tidak ada satu orang pun yang terlihat disekitar sini. Pada siapa aku harus meminta tolong? Teman-teman yang lain sudah jauh berlari, atau mungkin saja mereka sudah sampai kembali di lapangan basket. Kalau guru, sudah pasti sibuk mengajar dikelasnya masing-masing. Petugas kebersihan pun tak terlihat keberadaannya. Kalau aku sendiri yang membopong Zein ke UKS, itu mustahil. Yang ada Zein malah terjatuh dan itu akan membuatku semakin repot.
Aku hanya bisa menangis diam-diam. Menunggu seseorang yang datang dan mau menolongku. Tepat disamping kiriku adalah ruang basket—tempat dimana anak-anak basket berkumpul untuk membicarakan sesuatu—. Seorang laki-laki baru saja keluar dari ruang basket itu. Cepat-cepat aku menyeka air mataku karena malu dan takut dibully lagi. Ia melihatku dan Zein. Dan tepat saat melihat Zein, mata laki-laki itu membelalak lebar. Tampak terkejut. Tanpa mengatakan sepatah katapun, ia segera membopong Zein ke UKS.
Setelah membaringkan Zein diatas bedrest, laki-laki itu langsung pergi meninggalkanku dan Zein. Sebelum ia benar-benar menghilang, aku berterima kasih banyak padanya. "Kak Nando makasih.."
Ia menoleh dengan tatapan mata yang tajam. "Soalnya dia kakaknya pacar gue." begitu kata kak Nando datar lalu benar-benar pergi meninggalkan UKS. Jadi, kalau Zein bukan kakaknya Rein, kak Nando tidak akan membantunya?