Esok paginya, aku enggan untuk pergi ke sekolah. Aku berinisiatif untuk bolos saja hari ini. Aku bersembunyi dibalik selimut. Bi Iyem masuk kedalam kamarku seperti biasa untuk membangunkan. Jangankan menyahut, menggeliat –sedikit untuk menandakan aku sudah bangun– pun rasanya malas. Aku benar-benar tidak ingin sekolah!
"Bi, Slova sakit.." ujarku berbohong pada bi Iyem dari balik selimut.
"Yang bener non?" tanya bi Iyem memastikan dengan nada bicara khawatir.
"Iya."
"Yaudah, bibi bilangin nyonya ya non.." katanya, membuatku refleks terbangun dan menarik tangan bi Iyem.
"Nggak usah bi! Kecapean dikit doang, bentar lagi juga sembuh." iya, maksudku capek hati.
"Yang bener?"
Aku mengangguk mantap. "Bibi buatin Slova susu anget aja.." kataku akhirnya yang langsung dituruti bi Iyem.
Baru saja aku membanting tubuh ke kasur—bersiap untuk tidur kembali— terdengar suara ketukan keras dari balik jendela. Membuat telingaku bergetar karenanya. Siapa sih pagi-pagi gini? Nggak mungkin kucing kan?
"Slova bukaaa!!!" sial! Ternyata itu Afka sialan! Kenapa dia masih disini? Bukankah harusnya dia sudah tidak ada?
"Buka Slovaa bukaaaa!!!" ketukannya semakin keras, membuatku terpaksa membuka jendela untuknya. Daripada jendelaku nantinya pecah gara-gara dia.
"Gue pergi sekarang ya Slov." katanya sambil nyelonong masuk kedalam kamarku.
Aku memutar bola mata kesal. Terserah apa katanya, aku lelah.
"Nggak sedih nih?" Afka menaikan sebelah alisnya.
Aku menggeleng.
"Serius?" tanyanya lagi, dan aku hanya mengangguk—lagi.
"Gue mau peluk lo boleh? Buat yang terakhir kalinya aja.." pintanya. Aku hanya menjawab dengan cara menguap. Kuharap, dengan cara seperti ini Afka akan ilfeel padaku. Namun sial, yang ada Afka malah tertawa.
"Lo lucu banget sih Slov.." Afka mencubit pipiku gemas. Dengan cepat aku menepis tangannya.
"Afka banyak ngomong banget sih?! Mau pergi ya pergi aja! Ribet amat." aku membentaknya, kemudian kembali merebahkan diri keatas kasur dan menyembunyikan tubuhku dibalik selimut. Enggan menanggapi Afka.
"Slova.. Kok gue jadi nggak mau pindah dari sini ya?" peduli amat dia mau ngomong apa. Dasar manusia paling nyebelin! Keras-keras aku menutup telinga dengan bantal. Berharap tidak mendengar celotehan Afka yang tak ada gunanya. Ya, meskipun sayup-sayup aku bisa mendengar bahwa dia seperti curhat padaku. Tapi aku tak peduli.
Beberapa menit kemudian suasana kamarku berubah hening. Perlahan, aku mengintip dari balik selimut. Memastikan masih ada Afka atau tidak. Lalu, memang nyatanya tidak ada. Layaknya seorang hantu, Afka tidak meninggalkan sedikit tanda-tanda bahwa ia telah pergi dari sini. Tapi.. Apa aku terlalu jahat padanya? Membiarkan Afka berbicara sendiri tanpa kudengarkan?
"Eh? Slova belum berangkat sekolah?" tiba-tiba saja mama masuk kedalam kamarku tanpa kutahu sebelumnya.
"Ma..mama?" aku gelagapan. Duh, aku harus bicara apa sama mama?
"Kenapa? Tadi mama denger, kamu kayak lagi ngomong sama seseorang.." untunglah mama tidak lanjut bertanya tentang sekolah.
"Iya, tadi anak sahabat mama kesini." jawabku seadanya.
"Afka?" raut wajahnya terlihat heran.
Aku mengangguk.
"Bukannya udah pindah ya?" aneh. Mama malah tersenyum jail padaku.