Part 7

6.1K 558 95
                                    

"Ahsan, bawa kakakmu keluar!" Ahsan, adek gue yang paling nyebelin datang. Ini hari apa sih? Gak biasanya mereka datang dadakan begini. Apa Fahim nggak bilang semuanya ke mereka. Kurang ajar lo Fahim! Tunggu pembalasan gue!

"Oke Bun." kata adek gue dengan evil smirk nya. "Ayo kakak sayang, kita keluar." Tuhkan ngeselin.

"Bun, dengerin Arwaa dulu buun. Arwaa bisa jelasin semuanya."

"Cukup, kamu keluar sana!"

"Buun... Bundaaa... Bundaaa." Ya Allah,
Status gue sekarang tinggal terima nasib. Terima apapun dari kanjeng ndoro. Perkataannya adalah sabda buat gue. Salah apa sama hidup gue. Perasaan gue juga nggak bandel-bandel amat jadi anak. Kok bisa gini sih?

.........

"Jadi, siapa nama kamu?" Oke, sidang dimulai sodara-sodara. Entah apa yang akan dilakukan sama Bunda. Gue cuma bisa duduk lemah lunglai di samping Madona ikan teri, pasrah menghadapi persidangan.

"Dona, Donahue Kastara, Bu." katanya sedikit gugup.

"Nama yang aneh. Usia?" Setuju, emang namanya aneh. Kenapa coba dipanggilnya Dona. Kan bisa Kasta, Tara, atau Hue mungkin? Tapi kok kayaknya nggak ada yang pas ya. Aneh juga.

"29 tahun." Tuh, nggak salahkan kalo gue panggil om. Udah tua begitu.

"Pekerjaan?" tanya bunda lagi, masih dengan tatapan yang mengintimidasi. Tapi sanggup dijawab dengan kalem oleh Dona si ikan teri.

"Pengusaha, Bu." Ck, ga ya lu om. Bilang aja bodyguard gue, kan lebih aman. Biar gue gampang nanti kalau ditanya sama bunda. Sok-sok an jadi pengusaha. Pengusaha apaa? Celana dalam?

"Bun, di itu tu..."

"Diam kamu! Bunda nggak tanya sama kamu." Belum selesai gue ngomong udah langsung dipotong aja sama bunda. Ya Allah Bun, salah Nanda apa?

"Berapa gaji kamu?"

"Sudah lebih dari cukup untuk menghidupi Arwaa. Dari kuliah sampai kesehariannya." Dengan refleks super kilat, kepala gue menoleh ke manusia teri sebelah gue.

What?!

Dia bilang apa tadi? Menghidupi gue? Emang gue siapanya dia? Ayah gue masih sanggup buat kasih makan gue.

"Memang kamu punya apa?" Kali ini bunda bertanya dengan nada meremehkan khas emak-emak sosialiata atau emak-emak kejam yang biasa gue tonton di drama. Angkuh nan sombong. Padahal biasanya bunda nggak gitu kok, bener dah.

"Saya punya tekad yang kuat dan tanggung jawab Bu, saya juga punya Tuhan yang selalu bersama saya. Saya punya keluarga dan orang tua hebat yang mampu membesarkan saya sampai seperti ini." Gue makin melongo aja. Ini sebenarnya bahas apaan sih. Bunda ngapain juga nanya kayak gitu ke dia. Kok gue gagal paham ya.

"Itu saja?" tanya Bunda yang sepertinya belum puas dengan jawabannya. Masih dengan nada angkuhnya. Dengan badan yang duduk tegap, kaki disilangkan, nggak lupa tangan menyilang di bawah dada. Ditambah dengan tatapan membunuh yang mampu menebas siapa aja yang menghadang jalannya.

"Saya juga punya rumah yang bisa melindungi anak perempuan ibu dari hujan dan badai. Ranjang empuk yang bisa membuat tidurnya nyenyak. Juga halaman luas yang cukup untuk menampung anak-anak kami nanti untuk berlarian dan bermain di sana."

Ya Tuhan! Bisa diulang lagi nggak? Telinga gue rusak nih kayaknya. Gue pasti salah dengerkan?

A... Anak anak? Kami? Anak Kami? What?! Sejak kapan gue punya anak?

"Sudah?"

"Saya juga punya kendaraan yang siap mengantarkan anak Ibu kemana saja. Memberikan kenyamanan serta melindunginya dari hujan dan terik. Juga sedikit tabungan untuk pendidikan anak-anak kami nanti."

Arwaa and her Bodyguard Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang