Chapter 2

2.6K 286 110
                                    

Harry menghentikan mobil sport hitamnya tepat di depan lobby salah satu universitas ternama di daerah Tacoma, Washington. Harry melirik gadis yang sedang tertidur di sebelahnya. Ada perasaan tak tega untuk membangunkan si manis itu. Nampaknya Viveca terlalu lelah bermain. Ralat, berbincang dengan Harry tadi.

Berat hati, Harry mengguncang pelan bahu Viveca. Bibir gadis itu kemudian bergerak, menandakan respon. "Nona Thompson, bangunlah."

Viveca meregangkan otot tubuhnya. Ia menggeliat kecil seperti cacing di gurun yang panas. Hampir saja Harry tersenyum melihat tingkah kanak-kanak seorang mahasiswa sekaligus anak presiden tersebut. Beruntung Harry bisa menjaga harga dirinya sebagai seorang pimpinan jenderal negara.

"Sudah sampai?" tanya Viveca dengan suara khas bangun tidur.

"Sudah."

Viveca membuka matanya perlahan, menyesuaikan dengan intensitas cahaya matahari yang langsung menembus masuk ke dalam kedua bola matanya.

"Kau menungguku, 'kan?" tanyanya lagi.

"Kurasa tidak. Niall akan kemari 2 jam lagi dan kau akan pulang bersamanya."

Raut wajah Viveca kembali berubah menjadi kesal. Harry tahu betul bagaimana perasaan Viveca pada pria itu. Harry juga berpikiran yang sama dengan Viveca, bahwa Niall menyebalkan.

"Bisakah setidaknya kau mengantarku ke dalam?" mohonnya. Harry melirik Viveca, siapa yang mau mengantarnya?

Jika seperti ini, Harry menyesali keputusannya mengantarkan gadis itu ke kampusnya. Bagaimana lagi? Penyesalan di akhir tiada guna. Harry mengangguk pelan sebagai jawaban, dan sebagai responnya Viveca berdesis senang.

"Ayolah! Aku tidak sabar mengajakmu berkeliling kampusku!" ujarnya bersemangat sambil keluar dari mobil Harry.

Harry kemudian meraih pistol yang sedari tadi ia sembunyikan di balik jaketnya. Ia memasukkan peluru yang baru mengingat pistol itu tak ada gunanya tanpa peluru. Kemudian ia keluar menyusul Viveca yang sudah menunggunya.

Harry menghampiri Viveca sembari mengenakan kacamata hitamnya. Ia mengamati kampus tersebut, suasananya berbeda dari kampus-kampus saat ia dulu masih menjadi seorang mahasiswa. Tahun berlalu dengan damai sebelum teror itu.

"Semua mahasiswa memahami betul bentuk peringatan pemerintah." Harry melirik Viveca, "Kau?"

Viveca mengernyitkan dahinya. Sedetik setelah itu ia tertawa keras. Harry menatap heran gadis di depannya ini. Apa dia gila?

Namun pertanyaan batin Harry terjawab begitu Viveca menunjukkan sebuah pistol di balik mantelnya. "Aku bisa menjaga diri. Maka dari itu aku tidak terlalu suka jika mereka berlebihan melindungiku."

"Good girl," bisik Harry.

Pun keduanya kemudian bersama memasuki area kampus. Viveca banyak menunjukkan sudut-sudut kesukaannya. Bahkan tempat di mana ia sering menyendiri.

"Aku suka membaca. Itu menambah pengetahuanku daripada harus berdiam tanpa melakukan apapun di dalam gedung itu. Aku paling suka menyendiri di ujung belakang perpustakaan. Di sana cukup aman bagiku untuk menyendiri," jelas Viveca.

Tatapan mata beberapa mahasiswa mulai mengganggu Harry. Sudah lama ia tidak berada di tempat seperti ini. Setidaknya sudah hampir 6 tahun.

"Apa mereka selalu seperti ini?" tanya Harry risih.

"Siapa? Teman-teman?"

"Kau menganggap mereka teman?" Harry mengerutkan dahinya.

"Setidaknya aku lebih sering bertemu mereka."

Bad & Unique✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang