Kematian Daphne bukanlah hal besar terakhir yang harus mereka hadapi. Entah apakah Danny, bajingan kelas kakap itu masih bernapas atau sudah menyusul Daphne. Namun yang Harry tangisi sekarang bukanlah Kematian Daphne ataupun Danny yang entah apa kabar. Namun gadis berambut cokelat dan bermata biru yang kini jatuh pada lututnya, dengan sebuah belati yang menancap pada dada kanan atasnya, meringis dan makin pucat selagi getir raut wajahnya menghadap Harry.
"Metha!" Louis menahan tubuh Metha yang hampir ambruk. Lalu entah dari mana datangnya, Clarissa dengan pakaian yang sudah compang-camping dan luka lebam pada wajah dan lengannya itu ikut bersimpuh di depan Metha bersama Louis.
Lain halnya Harry, ia terlalu lemah untuk bereaksi akan Metha. Clarissa melepas lilitan kain yang sebelumnya melindungi telapak hingga pergelangan tangannya. Dokter muda tersebut nampak cekatan, membuat Metha berbaring hingga tubuhnya sejajar dengan tanah. Napas Metha tersenggal-senggal, ia kehilangan banyak darah dan tak ada yang bisa dilakukan untuk banyak membantunya.
"Ini akan menjadi sangat sakit," ujar Clarissa menahan isakkan, "maafkan aku jika tidak berhasil."
Metha menutup matanya sejenak, berusaha menghirup banyak oksigen semampunya. "Aku tahu. Maafkan aku … "
Clarissa kemudian memegang gagang belati tersebut. Perlahan, ia menarik belati itu keluar selagi Louis menggenggam tangan Metha. Sedangkan Harry tiba-tiba menunduk lemas, seluruh jiwanya seakan lepas dari raganya menyaksikan mata Metha melebar. Dan Clarissa berhasil, Metha menahan napasnya sejenak.
Clarissa membuang belati tersebut. "Bertahanlah!" Clarissa dengan cekatannya melilitkan kainnya pada dada dan menutup luka Metha.
"Bawa Metha ke tempat aman. Gas itu akan meledak kurang dari sepuluh menit," ujar Louis selagi membantu Metha berdiri, membopong tubuh Metha.
Metha menggeleng lemah. "Tidak," matanya kemudian beradu dengan Harry, "Harry … ayo."
Mata Harry menggelap, ia menengok ke belakang sejenak. Beberapa orang tersisa, ada yang tak bernyawa, ada yang masih bergerak-gerak pelan, seperti meminta ampunan. Sesuatu mengetuk hatinya.
"Pergilah," ujar Harry kemudian. "Aku ada sesuatu yang perlu di selesaikan."
"Are you fucking crazy?" omel Louis. "Kau bisa mati, Harry. Dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi, seperti halnya Metha."
"Diam dan pergi. Bawa Metha bersamamu, ini tidak akan lama. Aku janji."
Louis spontan menyerahkan Metha pada Clarissa. Sedangkan Clarissa mengerti, namun Metha makin memberontak. Ia tak memedulikan sakitnya luka dan banyaknya ia kehilangan darah.
"Diam!" sentak Louis. "Kau akan makin menyusahkan jika menolak. Ikut Clarissa, aku dan Harry akan kembali sebelum gas itu meledak."
"Louis … " Clarissa bersuara pelan. Perlahan setitik air mata jatuh dari mata kirinya.
Louis menyentuh pipi tirus Clarissa sejenak. Ia kemudian mengecup puncak kepala Clarissa sejenak. "Promise."
Saat Clarissa mengangguk, Louis berlari menyusul Harry.
Harry membantu salah seorang untuk bangkit. "Ayo! Jika Kau masih mau melanjutkan hidup!"
"Harry!" Louis tiba-tiba sudah ada di depan Harry, membantu Harry. "Untuk apa kau melakukan ini? Mereka bahkan membantu Danny untuk membunuhmu."
Tak menjawab, Harry justru membopong orang tersebut. Dibantu oleh Louis, mereka berdua berjalan agak cepat mendekati salah satu persembunyian bawah tanah yang sudah disiapkan.
Hal yang Harry lakukan kemudian malah menyerahkan orang terluka tersebut, membantunya untuk tetap aman. Detik selanjutnya, tanpa menunggu Louis, ia langsung berbalik, mencari orang hidup yang tersisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad & Unique✔
FanficThe way they love is so unique. Even if they're bad guys. Warning Harsh words, strong language, and some contents didn't allow to read by the underage kids. Copyright ©2017 Written by Bita Wibowo amazing cover by @kepenthough