Setelah bel pulang berbunyi, Gina buru-buru mengekori Naufal. Setiap gerak-gerik cowok itu bahkan diikutinya. Lama-lama, Naufal jadi kesal sendiri dan berhenti melangkah, sehingga Gina menubruk punggung cowok itu.
"Lo ngapain ikutin gue?" tanya Naufal to-the-point. Ekspresi wajahnya masih sama; datar, meskipun nadanya terdengar kesal.
Gina cengengesan, kemudian ia menggaruk tengkuknya. "Itu ...," Gina mendongak, kemudian ia menatap Naufal dengan tatapan memohon. Ia bahkan melipat kesepuluh jarinya. "Gue pulang bareng lo, ya?"
Naufal mendengus sebal. "Nggak."
Gina menurunkan tangannya, kemudian mencebik bibirnya. "Ihh, ayolah, gue nggak mau pulang sama sopir gue lagi." Gina memang sudah sering seperti ini, merengek pada Naufal agar diantar pulang, supaya tidak dijemput oleh supirnya. Masalahnya, Gina tidak bisa bertingkah sesuka hatinya apabila berada di dalam mobil utusan ayahnya itu. Ia hanya bisa diam dan memandang keluar jendela hingga sampai ke rumah, dan itu bukan "Gina" banget. Lain halnya ketika ia bersama Naufal. Ia bisa menggoda cowok itu sepuasnya dan berceloteh ria, walau pada akhirnya semua celotehannya itu hanya dianggap angin lalu oleh Naufal.
"Pulang naik angkot, lah. Kan bisa," balas Naufal cuek.
Gina lantas meraih tangan Naufal dan membuat cowok itu kaget. Namun, masih dengan ekspresi wajah yang sama, Naufal bersikap sok jaim.
"Kalo nunggu angkot kelamaan, ntar sopir gue keburu dateng. Ya? Ya?" Gina mengeluarkan jurus andalannya—puppy eyes. Gina mengedipkan kedua matanya berkali-kali sambil terus memajukan wajahnya, dan membuat Naufal terpaksa mengambil langkah mundur untuk menjauhkan dirinya dari Gina. "Lagian juga, emang lo tega biarin cewek naik angkot? Kalo gue diculik gimana?"
"Yang gue kasihanin mah supir angkotnya, bukan lo."
"Dih, Naufal mah gitu. Ayolahh," rengek Gina sambil menarik-narik jaket Naufal.
Naufal kemudian menghela napas keras-keras, baru ia membalikkan badannya dan terus berjalan hingga menemukan motornya. Gina dengan setia mengikuti cowok itu dari belakang.
"Gue ada urusan, mau pergi bentar, jadi nggak langsung pulang ke rumah," ujarnya sambil menaiki motor dan menancapkan kunci.
"Kalo gitu gue ikut." Gina tetap kekeuh dengan pendiriannya. Ia lebih memilih pergi bersama Naufal—yang bahkan tidak Gina ketahui tempat tujuannya—daripada pulang bersama supir pribadinya yang sopannya setengah mati. Mau ngomong apa-apa mesti nunduk dulu, udah kayak mau nyari jodoh.
Eh, jodoh kan bukan di lantai, tapi di tangan Tuhan.
Ya pokoknya, apapun itu, Gina lebih suka menjadi diri sendiri ketimbang harus menutupi jati dirinya dengan topeng kemewahan serta keanggunan, yang jelas penuh dengan kemunafikan. Gina benci itu.
Setelah Naufal mengeluarkan motornya dari tempat parkir, Gina langsung naik ke atas motor cowok itu tanpa disuruh. Senyum lebar tercetak di wajah mungilnya. Tiba-tiba saja, Naufal sudah menjalankan motornya dan membuat tubuh Gina hampir terlempar ke belakang apabila ia tidak buru-buru memeluk pinggang Naufal. Setelah laju motor tampak lebih stabil, Gina tersenyum, meskipun detak jantungnya masih menderu.
"Lo sengaja ngegas gitu ya, biar gue peluk? Hih, dasar. Modus." Gina merebahkan wajahnya pada punggung Naufal, sementara Naufal menoleh sedikit ke belakang.
Dan tanpa Gina sadari, sebuah senyuman terukir di wajah cowok itu.
***
Risa berjalan ke mobilnya sambil masih menelepon seseorang. Karena tak kunjung di angkat, wanita itu berdecak sebal, kemudian membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam. Pak Kusman, supir pribadinya, lantas bertanya ketika melihat wajah majikannya semasam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
G & G [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSUDAH TERBIT DAN DAPAT DIBELI DI TOKO BUKU TERDEKAT. Gina tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah ia bertemu dengan Farghantara Widjaja, seorang pentolan dari SMA sebelah yang terkenal berandal dan pe...