9. Skenario Hidup

4.8K 465 7
                                    

            Sesampainya di depan rumah Gina, Naufal memberhentikan mobilnya. Lampu mobil sudah dimatikan, dan hanya lampu jalan yang menyinari malam itu. Gina dan Naufal masih duduk di posisinya masing-masing, tanpa merasa gerah karena mesin mobil yang telah dimatikan. Selama di perjalanan pulang tadi, baik Naufal maupun Gina, keduanya sama-sama tidak membuka suara. Baru setelah Gina melepas sabuk pengamannya dan hendak turun dari mobil, Naufal bertanya.

"Lo tadi kenapa?" Pertanyaan yang diajukan Naufal tanpa menatapnya sama sekali itu sukses membuat gerakan Gina berhenti. Tangannya pelan-pelan menjauhi gagang pintu, lalu kembali duduk menghadap ke depan.

Gina menunduk, sementara Naufal menoleh ke arahnya. Gadis itu bungkam. Ia tidak tahu harus bercerita dari mana. Dari cita-citanya dulu kah? Atau dari saat ia merasa angan-angannya tak akan tergapai? Gina bingung. Namun, Gina tidak ingin berlama-lama. Setelah menunduk sejenak, Gina menoleh dan menatap Naufal.

"Lo ... pernah nggak sih, menginginkan sesuatu yang sebenernya lo tau lo nggak bisa miliki?" tanya Gina secara tiba-tiba, dan membuat Naufal tertegun.

Cowok itu diam sejenak, baru kemudian ia menjawab, "Pernah. Kenapa?"

"Rasanya ... gimana?" tanya Gina lagi.

Naufal menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, dengan kepala yang menengadah ke atas. "Rasanya ... ya sakit. Karena bahkan ketika lo menginginkan hal itu dengan sangat, hal itu nggak akan bisa menjadi milik kita. Emangnya kenapa? Lo lagi suka sama orang?" tanya Naufal, dan kali ini ia menatap Gina.

"Lebih dari itu," jawab Gina sambil tersenyum, kemudiam menunduk. "Lo tau nggak, cita-cita gue apa?" tanya Gina sambil menoleh ke arah Naufal lagi.

"Apa?"

"Jadi penulis skenario film."

Naufal mengangkat satu alisnya, sembari mengubah posisi duduknya. Ia tidak lagi bersandar pada jok mobil. "Serius?" tanya Naufal tidak percaya. "Kenapa? Kenapa nggak yang lain? Kayak, ilmuwan, gitu? Lo kan pinter, Gin."

"Ngaca, dong, tolong," sindir Gina. Naufal tertawa. Gina mengembuskan napasnya pelan, kemudian bersandar pada jok. Pandangannya terarah lurus ke depan. "Gue pengen apa yang gue impiin selama ini terwujud, meskipun cuma di layar doang. Gue pengen orang lain melihat hasil karya gue dan mengaguminya dalam bentuk nyata." Gina menoleh ke arah Naufal, lalu tersenyum. "Itu alasan kenapa gue pengen jadi penulis skenario film."

Naufal mengangguk paham. "Tapi, Gin, lo tau nggak, siapa penulis skenario terbaik?"

"Siapa?"

"Tuhan."

Gina mengangkat satu alisnya, bertanya.

"Ada begitu banyak manusia di dunia ini, dan masing-masing kita mempunyai cerita yang berbeda-beda. Dan, masing-masing cerita juga memiliki keajaibannya tersendiri. Bukannya itu hebat?" Naufal menoleh ke arah Gina, tersenyum. "Kita, manusia, tidak dapat mengetahui apa yang akan terjadi ke depannya. Bahkan terkadang rencana kita berbeda sama rencana Tuhan. Tapi satu hal yang kita tau, kalau semuanya akan indah pada waktunya. Gue bener, kan?"

Gina mengangguk, mengiyakan perkataan Naufal barusan.

"Lo tau, hidup kita ini sebenernya kayak sebuah film, dan kita adalah pemainnya. Kita memainkan film yang naskahnya ditulis oleh Tuhan. Masing-masing kita tentu punya peran tersendiri. Kalo misalnya kita memainkan peran kita ini dengan baik, pasti nanti kita akan mendapatkan hasil yang baik juga. Filmnya bisa ditonton oleh orang banyak dan mereka dapat manfaat dari film itu. Jadi, hidup kita juga harus seperti itu. Ketika orang-orang di luar sana melihat hidup kita, mereka bisa meneladani hidup kita ini. Kita harus bisa menjadi contoh bagi orang lain. Dan yang jelas, contohnya itu ya bernilai positif. Lo ngerti, kan, maksud gue?" jelas Naufal panjang lebar, dan membuat Gina tercengang untuk ke sekian kalinya. "Terus tadi lo nanya sama gue, kalo gue pernah menginginkan sesuatu yang nggak bisa gue miliki. Itu ... maksudnya apaan?" sambung Naufal.

G & G [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang