Jam istirahat kedua. Fanya beserta teman-teman sekelasnya mempergunakan waktu istirahat ini untuk berganti baju, karena pelajaran selanjutnya adalah olahraga. Demi apa, yang bikin jadwal pelajaran emang ngeselin banget. Bayangin aja, olahraga jam satu siang. Untung kalo mataharinya nggak terik. Tapi kalau lagi panas-panasnya? Bisa gosong kulit. Fanya tidak begitu memedulikan masalah kulit, sebab ia sudah memakai lotion kulit dari rumah, tapi yang dia pedulikan adalah perutnya, yang belum terisi sejak pagi, sebab jam istirahat pertama tadi ia gunakan untuk mengerjakan soal matematikanya yang belum selesai. Emang kejam banget tuh guru. Udah tau soalnya susah, disuruh kerjain cepet-cepet, dan yang belum selesai nggak boleh istirahat. Dikira istirahatnya lama, kali, padahal jam istirahat itu mentok-mentok cuma dua puluh menit, dan itu hanya bisa digunakan untuk menyelesaikan tujuh dari dua puluh soal.
Dan sepertinya, kesialan Fanya tidak berhenti sampai di situ, karena ketika ia baru saja memasuki lapangan, gerombolan cewek-cewek kelas dua belas langsung menghampirinya. Jelas Fanya tidak tahu apa-apa, sekaligus takut kakak-kakak kelasnya yang terkenal kejam ini akan berbuat sesuatu padanya. Ya bayangkan saja, dia yang baru masuk udah harus berhadapan dengan sang penguasa sekolah. Berasa ajal udah mau menjemput. Serem.
"Per-permisi, Kak. Saya mau lewat," ucap Fanya sambil menunduk, dan mencoba membelah jalan. Namun yang ada, kakak-kakak kelasnya itu malah semakin mengerumuninya.
Salah satu dari siswi kelas dua belas yang berdiri di sana, mendengus geli. Namanya Stefani Ardelia, bunga sekolahnya Taruma Negara. Cuih, bunga sekolah apaan. Lebih cocok bunga bangkai. "Lo ya, yang kemaren ada di pestanya Agro Wijaya?" Stefani membungkuk sedikit, agar dapat berbicara dengan Fanya yang masih menundukkan kepalanya.
"I-iya, Kak." Fanya mengangguk pelan, tanpa berani menatap mata Stefani secara langsung.
Kesal, Stefani pun akhirnya menjambak poni Fanya ke belakang, sehingga kini wajah Fanya terangkat ke atas. "Kalo ngomong sama orang tuh liat matanya! Diajarin sopan santun nggak sih lo?! Cewek kayak lo beraninya sentuh-sentuh Ghana gue. Lo nyari mati?!" seru Stefani dan membuat teman-teman sekelas Fanya berkumpul untuk melihat apa yang sedang terjadi. Murid-murid yang sedang berlalu lalang di lapangan juga ikut berhenti untuk menyaksikan pertarungan antara Stefani dengan seorang anak kelas sepuluh, tanpa berani melerai atau ikut campur, karena takut dikira ikutan mencari masalah.
"Sa-saya nggak ngerti sama apa yang Kakak o-omongin," ucap Fanya terbata-bata, karena rasa takutnya yang begitu besar. Ia hampir saja menangis, jika tidak melihat banyak orang yang menontonnya saat ini.
"Nggak ngerti? Apa perlu gue bikin lo ngerti sama apa yang lo lakuin ke Ghana kemarin malem? Narik-narik tangan dia, ngomong sambil senyum-senyum sama dia, sok-sok-an bilang makasih karena udah dipinjemin jaket sama dia. Lo kira dia bakal suka sama lo? Lo nggak usah sok kecakepan, ya, tolong. Lo itu nggak ada apa-apanya sama gue. Jadi, jangan berani lo sentuh-sentuh Ghana lagi. Inget itu." Stefani melepaskan tangannya dari rambut Fanya, lalu membalikkan badannya, hendak berjalan pergi bersama dengan teman-temannya.
Namun belum sempat Stefani melangkah pergi, Fanya sudah membuka suara duluan. "Dan Kakak kira kak Ghana juga bakal suka sama Kakak?" Sesaat setelah Fanya mengeluarkan kalimat itu, ia merutukki dirinya sendiri dalam hati. Aduh, kenapa coba mulut gue kagak bisa ditahan?!
Satu kalimat dari Fanya itu berhasil membuat emosi Stefani tersulut. Ia langsung membalikkan badannya, lalu menghampiri Fanya dengan langkah yang dipercepat. "Lo udah gue baikkin masih nggak tau diri, ya? Kayaknya lo harus gue kasih pelajaran dulu, biar ngerti, siapa yang berkuasa di sini." Stefani menoleh ke arah salah satu temannya, seperti memberi isyarat untuk mengeluarkan sesuatu. Sembari temannya itu mengeluarkan 'hadiah' untuk Fanya, kedua temannya yang lain memegang tangan Fanya agar gadis itu tidak pergi kemana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
G & G [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSUDAH TERBIT DAN DAPAT DIBELI DI TOKO BUKU TERDEKAT. Gina tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berubah seratus delapan puluh derajat setelah ia bertemu dengan Farghantara Widjaja, seorang pentolan dari SMA sebelah yang terkenal berandal dan pe...