4. Kebetulan yang Sudah Ditakdirkan

5.4K 554 29
                                    

Di sepanjang perjalanan pulang, Ghana terus diam. Cowok itu hanya membuka mulutnya untuk bertanya mengenai jalan yang harus diambilnya, dan selain itu, ia tidak mengatakan apa-apa. Gina yang duduk di belakangnya lantas menunduk canggung. Ia takut kalau ini disebabkan oleh pertanyaannya tadi, yang dilontarkannya secara tidak sengaja. Maka, sesampainya di rumah, Gina hanya berkata terima kasih, mengembalikan helm cowok itu, dan menyuruhnya hati-hati. Baru setelah itu ia masuk ke dalam rumah.

Gina menghela napas lelah sesudah pintu besar itu tertutup. Ia lalu menjatuhkan dirinya di atas sofa, sambil menatap langit-langit rumah yang bercat putih. Tiba-tiba saja, pintu rumah kembali terbuka. Gina langsung menoleh ke belakang dan melihat adiknya tengah melepas sepatu dan menaruhnya di rak kaca. Sesaat kemudian, Gina baru menyadari kalau ada jaket hitam yang tersampir di pundak adiknya. Badannya langsung ia putarkan ke belakang, agar dapat melihat jaket itu lebih jeli lagi.

Ternyata, jaket itu bukan milik adiknya. Jaket itu jelas-jelas milik seorang cowok. Karena penasaran, Gina lantas bertanya.

"Itu jaket siapa?" Gina menyilangkan kedua tangannya di atas sandaran sofa, menatap adiknya yang baru saja menutup pintu rak kaca itu.

"Bukan urusan lo," jawab adiknya sembari melangkah ke arah dapur, yang berarti ia harus melewati ruang tamu terlebih dahulu, sehingga kini membuat Gina harus memutar badannya ke depan lagi.

"Oh, jelas itu urusan gue. Kalo nggak, gue nggak mungkin nanya," balas Gina sambil menatap adiknya yang sudah berlalu.

Setelah ia menaruh kotak makan dan botol minumnya di tempat cuci piring, gadis itu keluar dari area dapur dan menaiki tangga ke atas. Gina yang kesal karena pertanyaannya tak kunjung dijawab, lantas meneriakkan nama gadis itu.

"ZEFANYA LATIFA!"

Gadis itu, Fanya, tetap saja berpura-pura tidak mendengar dan terus menaiki tangga hingga Gina tidak dapat melihat cewek itu lagi.

Sementara Gina sedang mengeluh sebal, Fanya yang sudah sampai di lantai atas langsung masuk ke kamarnya dan duduk di kursi belajar. Ia menaruh tasnya di kursi sebelahnya, bersama dengan jaket hitam cowok itu. Fanya tersenyum ketika mengingat kejadian siang ini. Lama ditatapnya jaket itu. Meskipun hanya jaketnya saja, Fanya sudah bisa mencium wangi khas cowok itu.

Ya, cowok yang sudah diidam-idamkannya selama ini.

Sebenarnya, Fanya ingin mengembalikan jaket Ghana setelah pulang sekolah, tapi ia tidak menemukan Ghana di manapun. Maka dari itu, Fanya berniat untuk membawa jaket ini pulang dan baru mengembalikannya esok pagi. Sebenarnya sih, Fanya bisa saja memberikan jaket Ghana kepada teman-teman cowok itu, tapi dia tidak mau, karena setelah kejadian tadi, Fanya jadi malas berurusan dengan mereka. Lagipula, membawa jaket Ghana pulang ke rumah berarti ia bisa menghirup wangi khas cowok itu lama-lama.

Fanya menghela napasnya, kemudian bersandar pada sandaran kursi.

Tadi siang, ketika ia pamit duluan ke kelas, ia tidak pernah menyangka kalau dirinya akan menjadi korban salah sasaran seperti ini. Awalnya, Fanya ingin memarahi orang kurang ajar yang sudah menyiramnya itu, tapi ketika ia melihat mereka adalah kakak kelas yang paling ditakuti di sekolah, kemarahannya berubah menjadi ketakutan. Fanya bahkan hampir saja menangis dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia malu menjadi bahan tontonan seperti itu. Ia sempat melihat beberapa siswi yang tadinya hendak menaiki tangga jadi menahan tawa, lalu berbalik dan mencari tangga yang lain. Tapi di tengah-tengah saat genting seperti itu, tiba-tiba saja seorang cowok berdiri di hadapannya, menutupi tubuhnya.

G & G [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang