8. Belenggu Masa Lalu

4.2K 494 8
                                    

Sementara itu, para tamu undangan di hotel tengah bersulang ria. Gina yang juga ikut bersulang hanya tersenyum kaku terhadap orang-orang di sekitarnya, lalu meminum anggur yang disediakan itu sedikit demi sedikit. Musik-musik klasik terus mengalun merdu mengisi ruangan itu. Ketika Gina sedang melihat ke sekelilingnya, ia mendapatkan Naufal tengah berdiri di pinggir ruangan. Dengan segera, Gina pergi dari tempat ia berdiri tadi, kemudian menghampiri Naufal.

"Hei," sapa Gina sembari menepuk pundak Naufal. "Lo dateng juga?"

Naufal mengangguk. "Iya, bareng keluarga. Lo juga?"

Gina tersenyum. Entahlah, Gina merasa Naufal sedikit berbeda hari ini. Tadi pagi, Naufal bahkan bertanya kepadanya mengapa wajahnya sangat kusut, dan tentu jawaban yang diberikan oleh Gina adalah 'nggak pa-pa'. Ya ... semua wanita memang seperti itu. Tapi Naufal tidak menyerah dan kembali bertanya kepada Gina apakah dia benar baik-baik saja atau tidak. Tentu saja hal itu membuat Gina ingin loncat-loncat saking senangnya, tapi ia tahan. Ya sebenarnya, Gina ingin bercerita mengenai kejadian yang menimpanya hari ini, namun ia memilih untuk diam, daripada nanti akan menimbulkan gosip yang tidak enak.

Dia hanya tidak tahu, kalau sebenarnya Naufal sudah tahu mengenai hal ini.

Di saat itu juga, ia melihat para petugas dari stasiun televisi tadi mulai mengoperasikan kamera mereka dengan segala alat-alatnya. Gina tersenyum lebar, kemudian ia pamit dan berjalan cepat ke arah para petugas itu. Baru saja Gina berjalan pergi, pintu aula terbuka lebar. Seorang laki-laki yang memakai jas hitam dan kemeja putih sebagai dalamannya itu mulai memasuki aula pesta dengan satu tangan yang dimasukkan ke saku celananya. Matanya memindai seluruh ruangan, mencari-cari keberadaan seseorang. Ia hanya tidak sadar kalau ayahnya berada di dekat sana, dan tengah berbicara dengan tuan dari acara ini. Ketika ayahnya melihat Ghana, anaknya itu, telah datang, senyumannya merekah lebar.

"Ghana," panggil ayahnya, Harris, dan membuat Ghana sontak menoleh. "Kamu datang juga ternyata." Harris berjalan menghampiri Ghana, sementara Ghana malah membuang muka.

"Saya ke sini bukan karena Ayah," ucap Ghana dingin. "Saya ke sini buat mencari seseorang."

"Ghana," panggil ayahnya lagi, dan kali ini dengan penekanan. "Apa kamu bisa sekali ini aja ngertiin Ayah? Ini demi perusahaan kita, Nak."

"Apa dulu Ayah pernah ngertiin mama?" balas Ghana tak mau kalah. Ayahnya langsung bungkam seketika.

"Ghana, ini bukan saatnya membahas masa lalu." Suara Harris semakin berat, disertai dengan penekanan pada setiap katanya.

"Ayah tidak pernah ingin membahas masa lalu," bantah Ghana cepat. Ayahnya terdiam. "Lagipula, yang ingin Ayah lakukan sekarang ke saya, bukankah sama dengan apa yang kakek lakukan ke mama dulu? Perjodohan?" Suara Ghana bergetar. Ia kemudian melihat gadis yang memakai gaun ungu dan berdiri di tengah-tengah gerombolan tadi. Ketika gadis itu, Sarah Andremita, putri tunggal dari perusahaan Agro Wijaya, menatapnya balik, Ghana membuang pandangannya ke arah lain. Gadis itu menatapnya cemas, meskipun tidak tahu apa yang ayah dan anak itu bicarakan karena jarak mereka yang cukup jauh.

"Ghana, dengerin Ayah. Ini demi—"

"Perusahaan?" Ghana mendengus geli. Matanya memerah. "Ayah nggak pernah tau apa itu cinta, ya? Pernikahan itu dilandasi dengan cinta, bukan dengan uang. Saya nggak mau berakhir seperti mama, yang hidupnya tidak pernah bahagia karena perjodohan. Hidup mama tersiksa karena kalian, manusia-manusia yang haus akan harta." Ghana memberikan penekanan di kata terakhirnya, dengan rahang yang mengeras dan tangan yang terkepal kuat. "Ayah bahkan nggak pernah cinta sama mama, kan?"

G & G [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang