Jiho terbangun karena suara alarm ponselnya berbunyi keras. Tangannya berusaha meraih ponsel berwarna hitam yang ia letakkan di bawah bantal, dan mematikan suara nyaring yang mengganggu tidurnya. Setelah itu tubuhnya dipaksakan untuk bangun setelah melihat tepat pukul sembilan yang terpampang di layar ponselnya.
Ia lekas beranjak menuju kamar mandi, berendam air panas di suhu sepuluh derajat celcius adalah pilihan tepat. Jiho keluar setelah empat puluh lima menit di dalam kamar mandi. Ia ingat hari ini harus menyerahkan hasil fotonya ke studio karena ia sudah janjian dengan Laura, si Manager Studio. Jadi hampir dua tahun ini selama di Jerman, Jiho memilih bekerja sebagai fotografer freelance di Camera Work, salah satu galeri foto di Berlin. Ya, untuk mengisi waktu luangnya dan tentu saja agar dia lupa dengan masa lalu yang cukup menyakitkan kalau diingat.
Selama hampir dua tahun ini Jiho menikmati pekerjaan barunya. Meskipun ini sangat jauh dari bidang pekerjaan lamanya yang menjalankan bisnis keluarganya, investasi dan main jual-beli saham, tapi Jiho lebih senang bekerja bebas seperti sekarang tanpa harus ada tekanan dari manapun. Menjadi fotografer hanya butuh objek dan mood.
Ia membuka gorden jendela besar kamarnya, pukul sepuluh pagi matahari sudah naik. Tapi awal musim semi di Jerman tetap saja terasa beku baginya. Karena di Jerman musim panas saja paling tinggi suhunya hanya dua puluh tiga hingga dua puluh lima derajat celcius. Meskipun cuaca dingin, sudah tampak keramaian orang-orang yang jalan kaki dengan jaket tebal di bawah sana. Dan kata tetangga apartemennya yang orang Jerman, selama langit cerah dan matahari masih muncul, tidak ada alasan untuk berdiam diri dan tidak melakukan aktivitas di luar rumah.
Setelah selesai membereskan semua keperluannya yang akan dibawa ke studio, Jiho memakai jaket tebalnya dan pergi ke studio tempat ia bekerja. Di depan pintu bawah apartemen, Jiho sempat disapa dua gadis mahasiswa dari Asia yang tinggal satu lantai di atas apartemennya.
Kalau di rumah ia akan dapat fasilitas mobil dan supir yang bisa ia pergunakan sewaktu-waktu, di Jerman ia menolak itu semua dari ayah dan ibunya. Entah kenapa ia hanya ingin hidup sederhana di sini. Selama hampir dua tahun hidup di Berlin Jiho lebih memilih jalan kaki dan menggunakan kendaraan umum seperti subway, tram dan bus untuk bepergian. Berjalan kaki selama 30 menit tidak akan terasa bosan. Di sepanjang jalan menuju ke studio berjejer toko-toko dengan jendela lebar untuk display barang, dan juga bangunan-bangunan tua yang masih dibiarkan asli tanpa modernisasi. Itu cukup membuatnya senang melihat, kadang juga bisa jadi obyek fotonya.
"Guten Morgen, Ben!" sapa Jiho pada seorang pelayan saat masuk ke sebuah restoran. Jadi biasanya ia akan mampir di Fleury -restoran yang sedang ia datangi ini hampir setiap hari untuk memesan kopi dan sandwich.
Pemuda bernama Ben yang sedang membersihkan salah satu meja itu menoleh, kemudian menjawab sapaan Jiho. "Guten Morgen, Jiho. Wie geht es dir?" (Selamat Pagi, Jiho. Bagaimana kabarmu hari ini?)
"Sehr gut (Sangat baik). I'm in good mood today," jawab Jiho sambil tersenyum.
Kadang ia masih bicara memakai bahasa Inggris dan bahasa Jerman secara bersamaan, karena bahasa Jerman sulit untuk lidah orang Asia menurutnya. Mungkin akan terdengar aneh, tidak banyak orang Jerman yang bisa bahasa Inggris. Karena bahasa Inggris juga bukan jadi bahasa utama di sini, dan karena ini Jerman bukan Inggris.
"Pesananmu pasti Caramel Machiato dan Avocado Sandwich, kan?" tanya Ben menghampiri Jiho yang mengambil tempat duduk di dekat jendela.
Jiho terkekeh, saking seringnya ia datang ke Fleury semua pegawai mengenalnya dan juga hafal menu makanan apa yang akan dia pesan. Jiho mengangkat tangannya membentuk isyarat 'oke' dengan jarinya.
"Kamu yang terbaik, Ben!" pemuda yang lebih muda dengannya itu membalas Jiho dengan cengiran lebar, dan berjalan menuju dapur untuk membuatkan pesanan Jiho.
Sambil menunggu sarapannya datang Jiho mengeluarkan amplop berisi hasil foto-foto yang sudah ia cetak, dan mengeceknya sekali lagi. Kemudian ia mengeluarkan kamera DSLR dari tasnya, menyalakan tombol on, dan iseng-iseng memotret sekeliling restoran yang bisa ia lihat dari jendela.
Tidak lama kemudian sarapan pesanannya datang. Jiho masih sempat memotret sandwich di piringnya dan mengunggahnya ke Instagram sebelum akhirnya harus menandaskan semua makanan itu. Di akhir suapannya, ponselnya bunyi dan menampakkan nama Laura di notifikasi bar. Buru-buru ia menghabiskan kopinya karena Laura sudah datang di studio dan menunggunya. Setelah ia membayar makanan, Jiho bergegas untuk pergi ke studio. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sebuah dompet yang tergeletak di salah satu kursi yang berada di halaman Fleury. Ia langsung mengambil dompet itu dan berteriak di depan pintu Fleury.
"Ben, jika ada yang mencari sebuah dompet kau suruh menghubungiku saja. Aku sedang buru-buru, bye!"
Dan Jiho membawa dompet yang terjatuh itu bersamanya meninggalkan Ben yang terbengong di depan meja kasir.
*
*
*
*
Chapter 1 is up! 😁😁😁
KAMU SEDANG MEMBACA
To. Us
FanfictionEveryone has a heartbreak that change them. Meant To Be Jiho's sidestory © chielicious, 2017