12

231 26 11
                                    

Tangannya masih berada dalam genggaman Kim Mingyu. Jiho masih merasakan tangan besar itu menggenggamnya erat bahkan setelah mereka berjalan menjauh dari cafe. Raut wajah Mingyu yang terlihat resah membuat Jiho khawatir. Ia tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada Mingyu dan gadis tadi, tapi melihat keadaan pemuda itu sekarang Jiho tahu Mingyu sedang tidak baik-baik saja.

"Mingyu.."

"Ah, iya?" Mingyu baru saja sadar ada Jiho yang ia paksa ikut dengannya.

"Kamu tidak apa-apa?"

Mingyu menatap Jiho, ada yang berbeda pada sorot matanya. "Jiho, maaf."

Jiho hanya terdiam sejenak mendengarkan Mingyu dan membalas tatapan matanya. Sejujurnya ia ingin mendengarkan lebih dari kata maaf. Ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi barusan.

"Gadis tadi.."

"Mantan pacarku," jawab Mingyu singkat. Jawaban singkat yang membuat Jiho langsung paham. "Maaf aku sudah menyeretmu. Aku hanya ingin dia berhenti mengejarku dan tidak menghubungiku lagi."

Ekspresi wajah itu kadang tidak bisa berbohong. Ia kira pemuda ceria dan sesempurna Kim Mingyu tidak pernah punya masalah percintaan, tapi yang ia lihat sekarang adalah Mingyu yang terlihat sedih karena patah hati. Mingyu hanya menjelaskan sebatas itu, dan Jiho juga tidak mau mengorek lebih banyak tentang si gadis mantan pacar tadi. Ia masih tahu mana batasnya untuk bertanya.

Jiho tersenyum kecil memandang Mingyu. Berusaha mengubah suasana yang tidak enak dan canggung menjadi lebih baik.

"Mau ke cafe lain? Mungkin minum coklat bisa membuatmu tenang."

Sekarang mereka berdua sedang duduk di sebuah cafe bernuansa rustic yang tidak terlalu banyak pengunjung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang mereka berdua sedang duduk di sebuah cafe bernuansa rustic yang tidak terlalu banyak pengunjung. Setidaknya Mingyu bisa menenangkan diri di sini. Sorot matanya masih kosong menatap lurus ke arah jendela kaca besar di depannya. Langit siang itu juga sedikit redup, awan mendung mulai menutupi sinar matahari. Beberapa menit kemudian, Jiho datang membawa sebuah nampan yang di atasnya terdapat dua cangkir coklat panas dan sepotong kue Red Velvet, dan meletakkannya di meja.

"Katanya makan dan minum yang manis-manis bisa mengembalikan mood yang buruk," kata gadis itu sambil duduk di kursi sebelah Mingyu.

Mingyu tersenyum kecil, "terima kasih sudah berusaha menghiburku."

"Sama-sama, hanya itu yang bisa aku lakukan pada teman yang sedang patah hati."

Mingyu terkekeh. Sekarang ia merasa konyol karena patah hati. Ia mengambil cangkir miliknya, aroma manis coklat yang diseduh itu menguar masuk ke indera penciumannya. Ia menyesap sedikit demi sedikit cairan coklat itu hingga dadanya terasa lebih baik setelahnya.

"Tempat ini terbaik untuk menenangkan diri, dan kuenya enak!" kata Jiho bersemangat sambil memotong kecil bagian ujung kue dengan garpu kecil.

"Ya, dan suasananya mendukung untuk seseorang yang patah hati sepertiku. Di luar juga mulai mendung mungkin sebentar lagi turun hujan." Mingyu meletakkan cangkirnya kembali ke meja, lalu menyanggakan kedua tangannya pada kepalanya. "Patah hati itu ternyata sesedih ini ya?"

Jiho tersenyum tipis. Ia sangat paham bagaimana rasanya patah hati. Ia bahkan lebih duluan merasakan patah hati daripada Mingyu. Kala itu adalah masa paling berat dalam hidupnya. Karena luka karena patah hati tidak akan mudah disembuhkan dalam waktu yang singkat.

"Bertahun-tahun aku bertahan, tapi kenyataannya aku sendiri yang berusaha keras mempertahankannya. Kemudian dia menghilang, dan aku menyerah pada hubungan yang semakin tidak jelas arahnya. Sekarang dia muncul lagi, ingin berdamai dan memperbaiki semua kesalahan di masa lalu. Permainan apalagi sih yang dia inginkan."

Kim Mingyu terus menatap lurus ke jalanan di depan cafe sambil mengeluarkan isi hatinya yang sebenarnya. Sedangkan Jiho berusaha mendengarkan tanpa memotong perkataan Mingyu.

Mereka pernah sama-sama patah hati. Hanya saja dulu Jiho tidak punya teman untuk menumpahkan emosinya. Ia hanya bisa memendamnya sendirian, kabur dari realita bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan, dan menangis sendirian. Kalau diingat-ingat mungkin lukanya akan terbuka lagi.

"Apa aku sudah membuat keputusan yang tepat?" tanya Mingyu.

Jiho terdiam sejenak, "entahlah, pada akhirnya semua keputusan akan kembali pada dirimu."

"You're right."

Mereka berdua kembali menyesap sisa minuman coklat yang sudah mulai dingin.

"Jiho, aku minta maaf. Gara-gara kejadian tadi, kamu yang tidak tahu apa-apa harus terseret begini," ujar Mingyu yang meminta maaf sekali lagi. Ia hanya merasa tidak enak pada Jiho."Jika suatu saat nanti dia mengganggumu karena aku, aku siap pasang badan."

Jiho tertawa kecil, "Are you sure?"

"Of course. Kamu bisa pegang janjiku."

"Alright, tapi aku bisa menghadapinya sendirian dengan cantik dan classy," jawab Jiho masih dengan senyuman kecil yang terbentuk di wajah cantiknya. "Ah iya, kalau kamu butuh bantuan untuk mengusir dia lagi, aku akan membantumu. Bukan ide yang buruk juga pura-pura jadi pacarmu."

Mingyu sedikit terkejut. Ia menoleh ke arah Jiho yang sedang asyik mengunyah kuenya. Dan gadis itu malah tersenyum manis.

"Aku serius, Gyu."

***

Halo, apa kabar?
Maaf ya baru bisa melanjutkan cerita ini. Ada beberapa alasan kenapa aku ga bisa cepet update. Real life yang begitu hectic, mood yang up and down, dan pandemi yang bikin aku struggle.  Beberapa kali sudah coba nulis dan susah banget buat nulis dalam keadaan yang capek dan banyak pikiran.
Semoga chapter selanjutnya bisa aku lanjutkan lagi meskipun aku ga bisa janji akan lanjutin secepatnya. Terima kasih banyak  karena sudah mau baca dan menunggu.  Selalu jaga kesehatan, semoga sehat selalu semuanya 💜

To. UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang