Jiho sudah rapi dengan kaos putih dan rok tartan selutut. Riasan tipis juga sudah menghiasi wajah cantiknya. Ia memandang refleksi dirinya di depan standing mirror yang ia letakkan di sudut kamarnya, kemudian tersenyum kecil. Ia membenarkan lengan bajunya sedikit, lalu menambahkan lipstik pada bibirnya. Kemarin sore Kim Mingyu menghubunginya lagi, pemuda itu bilang kalau dia ingin mengajak Jiho hunting foto karena banyak cafe-cafe aesthetic di pusat kota. Dan Jiho dengan senang hati menyetujui ajakan Mingyu.
Ia mengalihkan pandangannya dari cermin saat mendengar nada dering ponselnya yang menandakan ada pesan masuk.
Aku akan sampai sepuluh menit lagi, tunggu ya 😊
Begitu isi pesan Mingyu yang tiba-tiba saja membuat sesuatu letupan aneh di dalam dada Kim Jiho. Jantungnya berdebar lebih cepat, dan ah.. mungkin begini rasanya menunggu teman laki-laki datang menjemput di kencan pertama.
Hei, ini bukan kencan! Ini hanya acara nongkrong di cafe, dan tidak ada yang spesial. Otak Jiho mulai memberi sugesti agar dirinya tidak menaruh harapan yang berlebihan. Rasanya masih ada sedikit trauma tentang jatuh cinta pada laki-laki. Pengalaman jatuh cintanya di masa lalu amat menyakitkan, maka dari itu Jiho berusaha menyadarkan dirinya untuk tidak mudah terbawa perasaan.
Gadis itu cepat-cepat menyambar tasnya saat mendengar dering pesan dari Mingyu. Dia bilang kalau sekarang sudah berada di depan rumah, Jiho segera bergegas keluar. Dan benar, pemuda itu sudah berdiri di depan rumahnya.
"Maaf, kalau kamu harus lama menunggu," kata Jiho.
"It's okay, kita juga tidak sedang buru-buru pergi, kan?" jawab Kim Mingyu dengan senyuman lebarnya.
Sepuluh menit perjalanan mereka habiskan dengan saling diam. Kim Mingyu yang fokus menyetir, sedangkan Jiho yang hanya memandangi tas kecil yang ada di pangkuannya. Jiho tidak pandai memulai pembicaraan, ia tidak pandai mencari topik bahasan. Jadi, dia memilih untuk tidak bertanya duluan membiarkan Kim Mingyu fokus pada jalanan di depannya.
"Sejak kapan kamu mulai suka fotografi?" tanya Mingyu memecah keheningan di antara keduanya.
Jiho menoleh ke arah Mingyu yang masih memegang kemudi. "Ah, itu sudah sejak lama. Dari SMA aku memang suka fotografi."
"Ah, begitu. Maka dari itu kamu menjadikan hobimu sebagai pekerjaan. Kalau aku mungkin sudah satu tahun aku suka fotografi, aku baru sadar kalau memotret itu menyenangkan," balas Mingyu.
"Ya, like a healing time." Jiho tersenyum kecil.
Sekilas Mingyu melihat senyuman manis gadis yang duduk di sebelahnya itu ikut senang. Dibalik wajah dingin Jiho saat pertama kali mereka bertemu di Berlin dulu, gadis itu sangat cantik ketika tersenyum tulus begini. Entahlah, gadis itu seperti bunga yang mekar di pagi hari saat menampakkan lengkungan senyum di bibirnya seperti ini.
"Kamu tahu Ernst Leitz Museum di Wetzlar?" ujar Mingyu. "Beberapa kali ke Jerman tapi aku belum sempat kesampaian untuk pergi ke sana. Padahal aku sangat ingin pergi ke pabriknya Leica."
"Ya, dua tahun tinggal di Jerman aku juga belum pernah pergi ke sana. Kamu ingin membeli kamera mahal langsung dari pabriknya?"
Pemuda itu hanya terkekeh, yang kemudian membuat si gadis berambut panjang itu ikut tertawa. "Ya, one day. Jika aku mendadak jadi seorang milyarder. Tapi aku sadar aku hanya seorang pemimpi."
"No, you can get your dream if you want, Mr. Kim."
Dan sekali lagi sebuah senyuman tulus yang gadis itu berikan pada Mingyu berhasil membuat si gadis dingin itu tampak lebih hangat dari sinar matahari di pagi hari.
Mereka sudah sampai di sebuah cafe di pusat kota. Sebuah cafe dengan dinding berwarna biru, beberapa lukisan yang ditempel di dindingnya serta pot-pot kecil Succulent, Anthurium dan Cactus yang sedang berbunga diletakkan cantik di meja dan pinggir jendela. Mingyu dan Jiho duduk di sebuah meja di dekat jendela. Gadis itu terus memandang keluar jendela hingga tidak sadar Mingyu sudah duduk di depannya dengan membawakan secangkir Americano untuknya.
Pada awalnya mereka memang canggung, tapi Kim Mingyu adalah pemuda yang mudah mencairkan suasana. Pemuda itu mulai banyak bercerita tentang dirinya, dan ketertarikannya pada fotografi. Dan Kim Jiho lama-lama merasa nyaman dengan Mingyu.
"Kamu sudah punya satu kamera Leica bukan?" tanya Jiho ditengah obrolan mereka.
"Ah, itu milik ayahku. Hanya kamera jaman dulu yang untungnya masih bisa dipakai dan bagus hasilnya. Tapi tidak akan bisa sebagus hasil kamera seharga puluhan juta milik fotografer profesional. Oh, Jiho, do you wanna try?" katanya sambil menggamit tangan Jiho, lalu menyuruh gadis itu berpose. Ia mulai mengeluarkan kamera Leica berwarna hitam dan silver dari dalam tas kameranya.
Jiho yang awalnya menolak karena malu pada akhirnya menurut juga. Mingyu mulai memotretnya meskipun gadis itu tidak melihat ke arah kamera. Jadilah foto candid oleh seorang model dadakan yang cantik.
Mereka berdua mulai banyak bercerita tentang diri masing-masing dan tertawa bersama. Seharian mereka habiskan untuk mengobrol di cafe, menelusuri jalan di pinggir pertokoan sambil memotret. Jiho mulai menemukan kenyamanan saat ngobrol dengan Mingyu. Gadis itu juga mulai merasa bisa tertawa lepas saat bersama Mingyu. Mereka baru saling mengenal, baru beberapa kali bertemu karena sebuah kebetulan, tapi Jiho merasa ia sedang bersama teman lama ketika bersama Mingyu.
"Hari ini sangat menyenangkan, Jiho. Terima kasih sudah jadi teman jalan-jalan sehariku," ujarnya.
"Never mind. Aku juga senang akhirnya ada yang mau menculikku keluar rumah," balas Jiho dengan cengiran lebar. "Sejujurnya, aku kesepian setelah kakakku menikah."
"Tenang saja, aku akan menculikmu lagi lain kali. Ah, Jiho.." kemudian Mingyu menatap gadis itu saat mobil yang ia kendalikan berhenti karena traffic light berwarna merah.
"Ya?"
"I have another dream. Someday, I wanna date in Ernst Leitz Museum. Dan kamu bilang kalau kamu belum pernah ke Ernst Leitz Museum, kan?" Kim Jiho hanya membalasnya dengan anggukan. "Kalau begitu kita berdua harus ke sana bersama."
"Aku akan tagih janjimu nanti, Gyu."
KAMU SEDANG MEMBACA
To. Us
FanfictionEveryone has a heartbreak that change them. Meant To Be Jiho's sidestory © chielicious, 2017