BAB 2

10.6K 498 3
                                    

David memandang keluar jendela dimana menampilkan kemerlap Ibu Kota ketika malam hari. Sekarang sudah menunjukkan pukul 8 malam, tapi pria itu sepertinya enggan meninggalkan ruangan yang sudah ia anggap adalah rumah keduanya itu.

Jas hitamnya sudah ia sampirkan di kepala kursi sedangkan lengan kemeja abu-abunya sudah ia gulung sesikut menambah aura mempesonanya apalagi wajah tenang dan damainya bisa membuat perempuan manapun bertekuk lutut padanya.

Beberapa kali helaan napas beratnya terdengar. Bahunya perlahan merosot tanda ia mulai lelah dengan kondisi saat ini. Bukan kondisi fisik, namun hatinya. Ia bingung, kenapa hati dan otaknya tidak pernah sesinkron dengan tangan dan kaki. Jika tangan dan kaki akan bekerja sama untuk bergerak seirama langkah yang membawanya, tetapi tidak untuk otak dan hatinya. Otaknya sudah memintanya untuk berhenti memikirkan itu tapi ia kalah telak dengan kata hatinya. Apakah ia harus berjuang lagi?

Digelengkan kepalanya pelan ketika ide konyol itu terlintas dibenaknya. Ia harus segera pulang sebelum Mamanya menelponnya. Ia tahu kelakuannya tadi pagi sangat tidak baik. Maka dari itu ia harus meminta maaf pada kedua orang tuanya dan terkhusus untuk Adik tersayangnya yang dari pagi ia cueki. Sebuah lengkungan kecil tertarik keatas membentuk sebuah senyuman ketika ia membayangkan raut wajah adiknya yang kesal serta takut bercampur menjadi satu.

***

Suara deru mobil dari carport rumahnya membuat Vanya segera meloncat dari sofa malasnya dan berlari keluar dari kamarnya lalu menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa.

George yang baru selesai menyelesaikan kewajiban beribadahnya, mengernyit melihat anak bungsunya berlari mengintip dari jendela ruang tengah dengan sembunyi-sembunyi.

"Anya.." itu adalah panggilan kecil Vanya yang sampai sekarang masih digunakan oleh penghuni rumah tersebut.

Vanya tersentak dari kegiatannya lalu membalikkan badannya menghadap sang Papa dan tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang sembilan puluh sembilan persen diyakini George tidaklah gatal.

"Eh ada Papa hehehe"

"Ngapain kamu?"

"Itu, Pa anu--"

"Assalamualaikum"

George dan Vanya sama-sama melirik ke arah pintu penghubung menuju carport dimana kedatangannya daritadi sangat ditunggu oleh Vanya.

"Bang David pulang." Sambung Vanya pelan sedangkan David menatap bingung ke arah Adiknya. Ia melengos namun beberapa langkah memijak ia terpaksa kembali berhenti ketika matanya kembali bertemu seperti tatapan tadi pagi.

Ia hanya menatap datar George yang kini sama tatapannya dengannya. Ia pun lebih dulu memutuskan tatapan mereka dan kembali melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga satu persatu.

Annita yang baru ingin mengajak anggota keluarganya makan sempat terhenti di anak tangga paling bawah ketika melihat punggung tegap putranya. Ia tersenyum lebar.

"Vid, gabung makan yuk!" Ajak Annita lembut. David berhenti lalu menoleh ke bawah dimana Mama tercintanya menatapnya begitu lembut penuh keibuan padahal tadi pagi ia meninggalkan kesan buruk dimata Mamanya.

"David mandi dulu, Ma."

"Abis mandi langsung kebawah ya."

David hanya mengangguk lalu kembali menaiki anak tangga yang tersisa dua tapakan itu.

Vanya yang melihat kejadian tadi hanya bisa mendesah berat. David tidak menyapanya, itu berarti David mendengar ucapannya dan marah padanya.

"Gara-gara Mama sih." Teriak Vanya lalu berjalan menghentak-hentakkan kakinya menuju meja makan dengan raut kesalnya.

Kunci HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang