BAB 15

4.5K 165 0
                                    

Syifa berjalan pelan memasuki ruangan kerjanya. Tadi pagi ia sempat dibuat terkejut dengan pesan singkat dari David yang mengatakan bagaimana tidurnya semalam, walaupun sempat laki-laki itu meminta maaf karna Vanya yang mengajaknya jalan sampai hampir menginjak tengah malam. Meskipun begitu, Syifa rela pulang larut malam bersama Vanya agar dirinya bisa mendapatkan pesan singkat dari pria kaku seperti David.

Jangan tanyakan padanya sejak kapan perasaan itu muncul. Tapi ia yakin rasa itu perlahan ada ketika ia bertemu David dalam insiden kecelakaan 3 bulan yang lalu.

"Dokter, ada pasien gawat darurat!" Seru suster laki-laki bahkan tanpa permisi langsung membuka pintu ruangan Syifa karna efek terlalu panik.

Syifa dengan sigap berdiri lalu menyambar jas dokternya tanpa banyak bicara tak lupa stetoskop yang ia masukkan ke dalam saku jas dokternya dan berlari mengikuti suster laki-laki tersebut.

***

Alana sudah berkemas diri. Hari ini adalah jadwal dirinya untuk mempelajari ilmu bela diri selain hapkido, yaitu silat. Semenjak kepindahan dirinya ke Indonesia 4 tahun yang lalu saat itulah ia langsung meminta pada Ayahnya untuk membawanya pada guru yang sudah mahir dalam ilmu bela diri tersebut walaupun Barra sudah menolaknya mentah-mentah tapi kegigihan putrinya mampu meruntuhkan pendiriannya.

Sesuai ucapannya semalam, saat ini gadis itu dengan semangat mengetuk dan memencet bel rumah David. Bahkan saking semangatnya ia hampir saja mengetuk wajah orang dihadapannya.

"Hehehe sori hampir kena, ya." Alana cengengesan seraya menggaruk kepalanya yang ia yakini tidaklah gatal.

"Lo...ALANA!?"

"HALOO--"

Bruk!

"Ajigilee lo meluknya kurang kenceng lagi Van buat gue sesak napas." Kekeh Alana pelan namun tak urung ia juga mengeratkan pelukannya.

"Ini efek karna gue gemes sama lo, tau." Vanya mengerucutkan bibirnya kesal tapi ia juga langsung kembali memeluk tubuh gadis di depannya yang sempat tadi ia lepaskan.

"Van, Van sumpah gue kaga bisa napas anjir." Dan setelah itu Vanya tertawa ngakak.

Annita yang baru saja ingin menyusul tamunya yang entah kenapa datang pagi-pagi sekali, diurungkan begitu melihat ternyata putrinya lah yang menerima tamu tersebut apalagi membuat Annita tersenyum lebar karna tamu itu tak lain adalah Alana, tetangga barunya.

Ia bisa melihat keakraban Vanya dan Alana begitu kuat membuat Annita akhirnya memilih kembali melanjutkan acara memasaknya di dapur. Namun ia terkejut ketika melihat suaminya ternyata ikut mengintip ke arah pintu depan.

"George!" Seru Annita kesal namun George malah tertawa seraya mengusap rambut istrinya sayang.

"Maaf. Tapi apa yang kamu lakukan disini? Seperti sedang menguping saja."

"Aku hanya ingin melihat Vanya dan Alana saja. Tadi ingin bergabung tapi nggak jadi soalnya masakan aku tinggalin di dapur."

"Kamu tidak pernah berubah Annita." Setelah memberikan kecupan ringan di pipi istrinya, ia pun memilih untuk menghampiri putrinya dan Alana.

"Van, kok Alana gak dikasih masuk? Sini, Lan sarapan bareng." George membuka pintu rumahnya sedikit lebar lalu berdiri di samping Vanya. Alana sempat terpaku menatap wajah anak dan ayah tersebut, wajah mereka mirip hanya saja Vanya memiliki lesung pipi di kedua pipinya sedangkan George tidak.

"Aduh gimana ya, Om Lana buru-buru nih mau latihan. Tapi nggak pa-pa deh mau nyapa tante Annita juga sekalian." George tertawa pelan diikuti Vanya yang mendengus.

"Tadi gue yang maksa lo gak mau. Lah pas bokap gue yang ngomong doang, lo terima. Pilih kasih emang."

"Ya Allah, Vanya! Bokap lo itu orang tua harus dihormatin. Gak sopan juga kalo gue tolak."

"Serah ae lu mas, hayati lelah." Lagi-lagi Alana tertawa. Senin pagi di awal bulan Agustus memang tampak cerah sesuai suasana hati Alana saat ini.

***

Syifa meregangkan otot-otot tangannya di bangku taman rumah sakit setelah melakukan operasi mendadak selama 5 jam yang benar-benar menguras tenaganya. Jam di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 2 siang, berarti ia sudah melewatkan jam makan siangnya. Bahkan ia sendiri tidak merasa lapar saat menjalankan operasi kecuali pada saat ini, perutnya sudah berteriak minta diisi.

Baru saja ia ingin berbalik, sebuah botol minuman isotonik dingin menempel di pipi mulusnya membuatnya tersentak. Apalagi ia dibuat kembali terkejut bahwa yang melakukannya adalah Rayyan, pasiennya.

"Halo dokter cantik!" Sapa remaja 13 tahun itu. Syifa yang masih terkejut lantas memeluk sekilas tubuh anak laki-laki tersebut

"Kamu kesini naik apa? Jangan jauh-jauh mainnya nanti kena tabrak lagi." Anak itu tertawa. Syifa sendiri tidak menyadari seseorang yang sudah duduk di sampingnya.

"Ehm.." Syifa membuka matanya ketika mendengar suara yang sudah ia hafal diluar kepalanya. Ia kembali dibuat terkejut dengan kehadiran David apalagi pria itu tersenyum lebar ke arahnya.

"L-lo--ini gue mimpi nggak sih?" Dengan tampang bodohnya Syifa menampar pipinya sendiri dengan lumayan keras membuat kedua laki-laki berbeda generasi tersebut ikut meringis melihatnya sedangkan Syifa sudah mengaduh kesakitan.

"Sakit banget, gila!" David lagi-lagi tertawa melihat gadis itu meringis kesakitan bahkan memar tamparannya berbekas di kulit putihnya.

"Dokter kenapa nampar pipinya sendiri, Bang David?" Rayyan menatap bingung ke arah David yang hanya dijawab gelengan tidak tahu dari David.

"Vid, ntar deh, gue nggak salah liat kan?" Syifa masih menatap penasaran ke arahnya dan itu justru membuat David kembali tertawa.

"Lo yang lagi sakit kayanya. Ini gue David, lo kira lagi mimpi?" Ujar David dengan nada santainya diiringi kekehan ringan dari bibirnya.

"Nggak, Vid. Lo senyum ke gue kayak tadi seperti bukan lo, beneran. Kan setau gue lo jarang senyum."

"Gue juga manusia kali, Fa."

"Ya tapi--" ucapan Syifa terhenti karna David langsung menyimpan telunjuknya tepat di bibir Syifa, mengisyaratkan agar gadis itu tidak terlalu banyak bertanya karna David tahu Syifa jika bertanya selalu ngawur.

"Bacot banget. Ini gue mau ngajak lo makan, tadi Rayyan yang nyuruh gue buat ngajak lo sekalian." David menatap Syifa bingung karna ternyata gadis itu melamun.

"Syifa!"

"A-aah iya, iya ayo buruan gue laper juga nih." Syifa langsung berdiri lalu menggandeng tangan Rayyan yang sebelah kanan sedangkan sebelah kirinya masih berada dalam pegangan David, sehingga mereka terlihat seperti keluarga kecil bahagia. Beberapa suster maupun dokter yang melihat kejadian itu tersenyum bahkan ada beberapa bisikan yang mengatakan mereka terlihat pas sekali menjadi pasangan yang membuat wajah hingga telinga Syifa memerah. Ia bersyukur hari ini ia menggerai rambutnya sehingga David tidak mengetahui bahwa gadis itu sudah setengah mati menahan malunya.

David sebenarnya sadar dengan beberapa tatapan pengunjung taman, tapi ia tidak ingin protes toh selama ia nyaman ia tidak akan menghentikannya, justru ia diam-diam tersenyum menatap punggung gadis di hadapannya itu.

***

Kunci HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang