Alana masih sibuk dengan layar lebar di depannya tanpa menghiraukan ponselnya yang dari tadi bergetar di dalam laci mejanya. Ia sengaja tidak membuatnya berdering karna bisa saja membuat konsentrasinya pecah.
"Itu hp siapa yang bergetar?" Ayub menoleh pada seluruh anggota tim-nya, menatap satu per-satu membuat Sri dan Andre menggeleng karna bukan ponsel mereka. Lalu semua mata tertuju pada Alana karna gadis tersebut terlalu fokus hingga tak sadar bahwa kini ia menjadi pusat perhatian teman-teman divisinya.
Wajar saja mereka dengar, karna ruangan tersebut terlalu hening hingga bunyi jam berdentang saja terdengar apalagi ponsel Alana yang terus-menerus bergetar di dalam laci yang bergesekan dengan kayu.
Tuk
"Aduh! Ini siapa sih--lah kalian kenapa?" Baru saja ia ingin berteriak, namun ketiga teman kerjanya kini menatapnya dengan pandangan menuntut.
"Apaan sih? Bang Ayub, kenapa?" Alana masih memasang wajah blo'onnya tak mengerti.
"Hp lo geter tuh, Na."
"Hah? Astaga! Iya bener." Alana segera mengambil ponselnya yang menunjukkan 50 panggilan tak terjawab dan 20 pesan yang belum dibaca.
"Buseet, gue mimpi apa semalem sampe ditelpon banyak orang gini." Alana terus menscroll-down caller id yang terdiri dari kedua kakanya bahkan Vanya dan David juga ikut menelponnya.
"Ini ada apa, sih?" Ia yang penasaran segera membuka kotak pesan yang masuk.
"Mungkin urgent banget, Na." Kata Sri yang ikut penasaran.
Brak!!!
Andre, Ayub, dan Sri dibuat terkejut ketika Alana dengan refleks menggebrak meja sembari berdiri dengan muka pucat.
"Kenapa, Na? Siapa yang nelpon?" Tanya Andre panik sambil menghampiri Alana yang sudah sibuk merapikan mejanya.
"Na, lo mau kemana?" Seru Sri panik namun tidak dihiraukan oleh Alana.
"ALANA!" Sentak Ayub tegas membuat Alana terdiam sambil meneteskan air matanya sehingga membuat ketiga temannya tercengang, pasalnya gadis tersebut jarang menangis.
"A-Ayah..Ayah.."
"Ayah lo kenapa?" Seru Andre seraya mengguncang bahu gadis tersebut.
"Ayah masuk rumah sakit, Bang. Jantungnya kumat. Bang, gue izin ya?" Tanpa pikir panjang Ayub langsung menyetujuinya.
"Apa perlu kita antar?" Tanya Sri cemas.
"Nggak usah, Sri. Gue bawa mobil kok. Makasih banget ya, Bang. Yaudah gue pergi dulu."
***
Setelah menanyakan ruangan Ayahnya, Alana segera berlari menuju ruangan VVIP yang terletak di lantai 10. Ia bahkan sudah melepas stiletto-nya dan menentengnya karna tidak sanggup berlari menggunakan sepatu berhak yang hanya 3 senti itu.
Setelah belok kiri, ia melihat sepanjang lorong di ruangan Ayahnya sudah terkumpul orang-orang ia kenali. Ia bersyukur tempat Ayahnya hanya ada 1 kamar saja yang berarti hanya kamar Ayahnya saja di lorong tersebut.
Jovan yang masih memakai seragam tentaranya menoleh begitu mendengar suara tapakan kaki yang berlari di lorong tersebut semua orang juga mengalihkan pandangan ke arah Alana termasuk David yang sedikit terkejut karna melihat penampilan gadis tersebut begitu kacau.
Alana menubrukan tubuhnya yang langsungi diraih oleh kakak pertamanya itu. Jovan memeluk erat adiknya. Ia bisa merasakan bahu adiknya terguncang bahkan Alana melepaskan genggamannya pada sepatu kantornya membuat suara dentuman benda jatuh pada lantai marmer rumah sakit tersebut.
"Na, udah hey! Jangan nangis, Ayah nggak pa-pa kok."
"Bilang sama Alana kalo Ayah bakalan sembuh." Racau Alana di dada kakaknya. Rambutnya yang tercepol sedikit demi sedikit mulai keluar dari tempatnya sehingga Jovan merapikannya kembali.
"Kakak percaya Ayah bakalan sembuh. Jadi udah ya nangisnya?"
David baru mengetahui sisi lain dari diri Alana yang selama ini ia ketahui hanya Alana yang memiliki sifat yang begitu periang kadang ceroboh ternyata begitu rapuh jika sudah menyangkut Ayahnya.
"Gue bahkan baru lihat cewek kayak Alana yang mau lari-larian di rumah sakit sambil nenteng stiletto-nya." Gumam Vanya tanpa sadar yang mendapat senggolan dari Mamanya.
David masih memperhatikan interaksi ketiga orang dihadapannya dengan seksama. Ia merasa dejavu. Pemandangan tersebut mengingatkannya saat ia masih menginjak usia 7 tahun dimana saat ia bermain bola dengan Darren dan Jovan, tiba-tiba seorang gadis kecil berlarian ke tengah lapangan dan pada saat itu juga David tidak sengaja menendang bola yang mengenai kepala gadis kecil itu. Jovan yang pertama kali berlari ke arah gadis kecil itu yang sedang menangis sesenggukan dan memeluknya dengan erat lalu disusul Darren.
Ia baru sadar bahwa Alana adalah gadis kecil yang dulu selalu membuntuti mereka bertiga, dirinya dengan Jovan dan Darren. Tapi ternyata, gadis itu sudah menjadi wanita yang begitu kuat namun terkadang menunjukkan sisi kerapuhannya, seperti saat ini.
"Kamu sudah mengerti kenapa Papa jodohkan kamu dengan Alana setelah melihat kejadian ini?" Ucap George tiba-tiba namun tidak membuat David terkejut. Ia memang sadar jika George datang menghampirinya.
David berpikir kembali. Tentang Barra yang tiba-tiba pingsan karna jantungnya kumat lalu ucapan Barra beberapa minggu lalu yang masih terekam jelas oleh otaknya.
"Jaga Alana, David!" Setelah mengucapkan hal itu, George meninggalkan David yang masih termenung dengan perkataan Papanya.
***
Barra tersenyum lemah ke arah putrinya. Sudah sejam yang lalu ia sadar Alana selalu memegang tangannya, seakan takut kehilangan dirinya. Itu makin membuat ia semakin merasa bersalah pada Alana.
"Ayah kenapa? Ada yang sakit?"
"Alana.."
"Ayah mau apa? Alana pasti penuhi kok."
"Kamu mau ya menikah sama David."
Glek.
David yang dari tadi duduk diam mengamati keduanya dari sofa hanya bisa memejamkan matanya berharap ini semua adalah mimpi.
"Maaf, Ayah. Alana tidak bisa." David membuka matanya dan menatap gadis tersebut dengan lama.
"Tapi kata kamu akan memenuhi permintaan Ayah."
"Tapi Ayah tidak bisa memaksa Alana dengan David untuk menikah."
"Apa kamu tidak sayang dengan Ayahmu, Alana?" Suara Barra semakin mengecil membuat Alana mengeratkan genggamannya.
"Ayah jangan bilang begitu! Aku--"
"Saya bersedia, Om."
Alana langsung menatap David dengan mata yang terbelalak. Ia bahkan menahan napas begitu pria itu berjalan menuju sisi brangkar Ayahnya.
"David, lo jangan gila!"
"Lebih gila mana jika anaknya sendiri menolak permintaan Ayahnya?"
"Tapi ini beda ceritanya--"
"Tidak! Kita tetap menikah selagi Ayahmu menginginkannya."
"Oh Tuhan.." desah Alana putus asa. Gadis itu segera melepas genggamannya dari Ayahnya lalu memilih keluar meninggalkan David dan Barra di ruangan tersebut.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kunci Hati
RomanceDisaat ku sudah lelah mencari Disaat hati ini tlah terkunci Kau datang membawa Seberkas harapan Engkau yang memiliki kunci hatiku •Afgan - kunci hati•