BAB 17

3.8K 170 0
                                    

David menghirup udara disekitarnya dengan rakus. Jujur, ia belum bisa bertemu mantan kekasih yang meninggalkannya hanya demi menikahi pria yang lebih mapan darinya setahun yang lalu.

Andai saja Rio tidak mengundangnya ke acara 7 bulanan istrinya, ia tidak sudi untuk mengetahui satu fakta. Tapi sekali lagi, sebuah fakta tersebut menamparnya lebih keras. Mantannya itu sudah berbadan dua, memberikan rasa sesak itu muncul kembali.

Ia mencengkram kuat stir mobilnya menyalurkan kesakitan dan ketakutannya. Ia berharap cara tersebut mampu meredakan sedikit saja rasa itu.

Ketika ia baru saja turun dari mobilnya, ia sempat dikejutkan dengan teriakan wanita yang beberapa hari ini ia temui.

"Lo ngapain disini?" Tanya Syifa yang tiba-tiba.

"Gue diundang Rio." Jawabnya dengan senyuman tipisnya.

"Dan lo, diundang juga?" Lanjutnya seraya menatap penampilan perempuan itu yang bisa ia tebak baru saja dari rumah sakit.

"Bukan gue sih, tapi Bunda gue. Cuman gue wakilin dia soalnya Beliau ada jadwal praktek hari ini." Jawab Syifa. Mereka pun melanjutkan langkah mereka menuju tempat acara. Sudah banyak tamu undangan yang berdatangan dan banyak pula teman-teman dari pihak perempuan yang mengenalinya.

"Bunda lo dokter juga?" Tanya David setelah mereka bertegur sapa dengan beberapa orang yang ia kenali.

"Iya, cuman beda ahli aja." David hanya mengangguk mengerti. Namun matanya tertuju pada sosok wanita anggun yang kini sedang tersenyum bahagia pada tamu undangan seraya mengusap perut buncitnya didampingi suami yang begitu setia berdiri di sampingnya.

Ia bahkan terbesit rasa ingin menggantikan posisi Rio yang berdiri disana. Namun ia segera menggelengkan kepalanya ketika ia sudah merasa terlalu jauh untuk berkhayal.

Tiba-tiba ia merasakan genggaman menyelimuti telapak tangannya. Genggaman dari tangan lembut itu membuat dirinya merasa lebih kuat dari sebelumnya.

"Lo nggak pa-pa?" Bisik Syifa pelan yang hanya diangguki oleh David. Pria itu memberikan senyum kecilnya yang dibalas tatapan yang sulit diartikan milik Syifa.

"Selamat ya, Mbak Gita. Semoga lahirannya lancar."

"Aamiin, makasih ya Syifa. Bunda kamu sibuk lagi ya?"

"Yah, seperti biasa." Kedua perempuan itu tertawa pelan yang tak pernah luput dari pandangan tajam David.

Gita menoleh pada pria yang dulu ia cintai. Namun takdir berkata lain, bahwa ia hanya cukup mencintai tanpa memilikinya. Ia membiarkan segala spekulasi dari David mengenai dirinya yang lebih memilih Rio dari pada pria yang setia menunggunya selama 3 tahun itu. Ia mempunyai alasan, tapi bukan saat ini David mengetahuinya.

Maafkan aku, David.

"Selamat" ucapnya dengan raut wajah datarnya. Syifa menggigit ujung bibir bawahnya berharap pria itu kuat melewati ini semua. Ia bisa melihat Gita tersenyum getir seraya mengangguk kecil. Syifa tau ia hanya pendatang baru dan tak tau apa-apa. Untuk itu ia memilih untuk diam menyaksikan semuanya, hanya tinggal menunggu kapan David meminta bantuannya.

"Kalian datang barengan?" Tanya Rio tanpa bisa menyembunyikan sarat wajah bahagianya, David tersenyum tipis.

"Kami--"

"Ya, kami datang bersama."  Ucapan Syifa terpotong kala David langsung menyambarnya dengan kata-kata yang begitu terdengar dingin. Apa Rio tidak menyadari bahwa David sedari tadi menahan teriakannya yang akan keluar sebentar lagi? Syifa menatap cemas ke arah pria di sebelahnya.

Tanpa David sadari, Syifa langsung menyambar lengan kokoh itu lalu merangkulnya mesra. Katakan Syifa sudah mulai gila saat ini, tapi percayalah ia ingin membantu pria itu sekali lagi. Namun sepertinya Gita maupun Rio melihat pemandangan tersebut. Sehingga tanpa sadar Gita menanyakan hal yang membuat keduanya terdiam.

"Kalian ada hubungan?"

"Ya. Kami memiliki hubungan." Jawab Syifa mantap menatap dengan tegas ke manik coklat milik Gita. Wanita itu hanya tersenyum tipis.

David yang terkejut dengan tindakan tiba-tiba Syifa hanya bisa terdiam menunggu apa yang akan dilakukan dokter cantik itu. Ia tahu, Syifa berniat menyelamatkannya.

"Ehm..maaf, Gita. Tapi sepertinya kami saat ini sedikit terburu-buru. Bisakah kami pamit terlebih dahulu?"

"Sekarang?"

"Ya, Syifa hari ini ada jadwal operasi sejam lagi." Walaupun ia terkejut karna David mengikuti permainannya, setidaknya Syifa berharap David tidak terlalu sedih berlama-lama menatapi pasangan suami istri itu.

***

Mereka berdua terdiam. Setelah pulang dari rumah pasangan Gita dan Rio, Syifa mengajak David untuk duduk sebentar di taman komplek perumahan yang agak sepi itu.

"Sorry, gue udah lancang sama lo." David tersenyum tipis ketika Syifa menatapnya dengan menyesal.

"Thanks" Syifa menoleh sebentar pada pria itu lalu kembali menatap ke depan melihat tatanan bunga taman yang begitu asri.

"Kalo nggak ada lo, gue nggak bisa bayangin apa yang bakalan gue lakukan disana." Lanjutnya lagi. Syifa membiarkannya untuk mengeluarkan segala unek-unek dalam dirinya.

"Rasa sakit itu masih ada."

"Mengikhlaskannya adalah cara terakhir yang begitu sulit aku lakukan."

"Vanya beberapa kali memarahiku karna terus memikirkan wanita itu. Katakan aku gila, Fa. Tapi percayalah sakit itu masih jelas menyerang hatiku. Aku bodoh ya, Fa?" Tawa miris David.

Cukup.

Syifa segera menghadapkan ke arah David dan menatap laki-laki itu tajam.

"Kamu akan menjadi orang yang lebih bodoh lagi jika terus menyiksa dirimu, David. Lupakan dia, dia sudah berkeluarga, sebentar lagi anaknya akan lahir dan kamu masih mengharapkannya? Kamu malah menjatuhkan harga dirimu secara tidak langsung."

"Syifa tapi--"

"Jangan merintih seperti tadi. Itu bukan David yang aku kenal. Mana sikap dingin dan cuekmu yang kemarin? Tunjukkan pada dia kalau kamu pantas bahagia dengan wanita pilihanmu."

"Hah! Bahkan kau lebih buruk menangisi mantanmu dari pada aku yang ditinggal selamanya." Ucapnya pelan. Merasa ia sudah keterlaluan, Syifa segera beranjak berdiri. Ia tahu sekarang David menatapnya penuh tapi ia takut menatap manik hitam itu.

Tiba-tiba ia merasakan sebuah genggaman hangat menyelimuti telapak tangan mulusnya. Ia terkejut tentu saja, tapi ia lebih memilih untuk diam dari pada membalikkan badannya untuk menatap mata lelaki itu.

"Tidak bisakah kita saling mengobati luka itu, Syifa?" Mata almond milik Syifa melebar ketika ucapan itu mengingatkannya dengan ucapan 2 bulan lalu milik Annisa.

Saling mengobati, apakah bisa?

"Lo jangan terlalu percaya sama teori lo 3 hari yang lalu. Kalo lo berusaha ya siapa yang bisa tebak kan."

"Kamu tidak mau ya?" Syifa bisa merasakan pria itu tersenyum getir.

"Baiklah, kalau begitu aku--"

"Ayo saling mengobati, David!" Syifa membalikkan badannya dan tersenyum lembut. David yang menatap mata almond teduh itu perlahan tersenyum, senyum yang lebih lebar bahkan Syifa sendiri tertegun menatap bibir itu melengkungkan senyuman yang bahkan baru ia lihat dari David.

Ya, tidak ada salahnya aku mencoba. Makasih Annisa kamu sudah banyak membantuku.

Kunci HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang