1. Tatan

15K 1.1K 432
                                    

Gue adalah satu dari sekian banyak orang yang masuk dalam kategori non-hot. Average looking girl. Suatu populasi terbesar di dunia. Tapi menjadi yang biasa-biasa aja ternyata banyak mendatangkan keuntungan. Misalnya, orang-orang melihat apa yang ada di dalam diri kita. Apakah statement tadi omong kosong? Not really.

"You have a really great personality,"

Ini adalah komplimen nomer satu yang sering diterima sama orang biasa-biasa aja. Untuk orang semacam gue, pesona dan karisma adalah hal nomer satu. Kalo lo enggak bisa membuat cowok terpikat karena kecantikan lo, buat mereka bertekuk lutut karena otak, personalitas, dan selera humor lo.

Keuntungan lain menjadi gue adalah: cowok enggak segan untuk memberi tahu gue apapun. Serius, APAPUN. Mereka akan sangat menjaga imagenya di depan cewek cantik, tapi di hadapan gue, mereka adalah mereka yang sebenarnya. Membuat semua hubungan menjadi lebih transparan, kan?

Gue tahu rahasia hampir sebagian orang di kelas gue, termasuk rahasia sang populer. Gue tahu Michael Clifford enggak bisa tidur sebelum minum segelas susu coklat hangat. Gue tahu Luke Hemmings suka ngoleksi mainan-mainan dari happy meal. Gue tahu Ashton Irwin suka baca komik mesum Jepang. Gue tahu Calum Hood suka dengerin musik dangdut. Cewek-cewek cantik sekolah enggak pernah tahu hal itu. Trust me.

Dan keuntungan lainnya menjadi gue adalah; gue punya kehidupan SMA yang patut dikenang. Gue punya kisah menarik yang bisa gue ceritakan ke anak cucu gue nanti. Gue punya memori berharga, paling tidak.

Dan kisah ini, bermula dari sini:

"Nataina Andrew?"

Gue yang tadinya melamun sambil memandangi belakang kepala Calum yang baru aja dicepak, kini mengangkat kepala gue untuk menatap Bu Sukma yang lagi duduk di depan kelas, mengabsen murid-muridnya, "Natania Andrew yang bener bu, Na-TAN-ia bukan Na-TAI-na."

"Bentar," ucap Bu Sukma lalu memicingkan matanya lagi ke deretan nama-nama di daftar murid, "Na-Natai-Natan-Natania Andrew," lalu menatapku lagi dari balik kacamata perseginya, memastikan apakah ucapannya sudah benar atau tidak.

Gue mendengus, "Hadir, Bu."

"Emang ribet namanya, Bu," Gue menoleh ke arah Michael yang duduk di sisi kiri gue, lagi ketawa-tawa sama temen sebangkunya, Luke, "Makanya dia biasa dipanggil Tatan sama kita-kita."

Kalian tau Tatan, kan? Bocah kecil yang montok dan punya alis super tebel itu, yang kalo ngomong suaranya kayak kejepit. Mana pake dibikinin stiker di aplikasi chat LINE segala lagi.

Lalu, dengan amat sangat menyebalkan, Luke mengeluarkan suara terkejut yang dibuat-buat, dia dengan cemprengnya teriak, "Gak sopan!" Dengan mulut monyong dan suara yang dimirip-miripin sama stiker Tatan.

Dan akhirnya, ruangan yang tadinya sunyi senyap, langsung gaduh sama suara tawa temen-temen sekelas. Gue menarik napas panjang, lalu melirik ke arah Ashton - teman sebangku gue - yang lagi cekikikan, lalu menyipitkan mata ke arah Calum yang sudah membalikkan badannya ke arah gue hanya untuk ikutan ketawa.

Gue merentangkan kedua tangan gue dan menyubit kencang lengan mereka bersamaan, "Lucu banget, hah?!" Gue mulai memutar cubitan gue, mereka mulai berteriak heboh, "Mana tadi, suara tawanya?"

Calum dan Ashton meringis-ringis kesakitan, "Argh! Ampun!" Teriak Ashton.

"Copot daging gue sumpah!" Bentak Calum yang kini menggenggam tangan gue sambil berusaha melepaskan cubitan gue dari lengannya.

Setelah dirasa puas, gue melonggarkan cubitan gue, membuat mereka berdua langsung menepis tangan gue dan mengelus lengan masing-masing. Masih dengan ringisan kesakitan bercampur sakit hati, Calum memprotes, "Yang ngatain Mike sama Luke kenapa daging gue yang dipelintir?!"

Ashton juga ikut-ikutan protes, "Iya, tuh!"

Gue melotot ke arah mereka bergantian, "Makanya lain kali kalo ketawa tuh volumenya dikontrol!"

"Babay everybody!" Teriak Luke dan Michael yang sengaja niruin salah satu stiker Tatan yang lain ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Gue puter mata dan nunjukkin jari tengah gue ke arah mereka. Mereka ketawa menanggapi kekesalan gue. Semakin gue kesel, semakin gencar mereka ngeledeknya.

Gue geleng-geleng frustasi pas liat Michael dengan isengnya menendang bokong Luke dari samping, dan mereka berakhir dengan kejar-kejaran keluar kelas. Idiot banget, kan?

"Tungguin gue woy!" Teriak Ashton yang enggak digubris sama Luke dan Michael sama sekali. Ashton menggulung baju futsalnya sembarangan ke dalam tas dan menghampiri Calum yang lagi ribet masuk-masukin buku paket, "Cabut, Cal."

"Duluan aja," gumam Calum.

"Piket yang bersih, Tan," tegur Ashton sebelum berjalan keluar meninggalkan ruang kelas. Gue cuma mendengus dan mulai ngambil-ngambilin sampah di laci meja gue. Hanya ada beberapa orang aja yang tersisa, termasuk gue yang hari ini kena giliran piket.

"Eh, Tan."

Gue menoleh ke arah temen sekelompok piket gue, dari muka sok melasnya, dia kayaknya mau beralasan untuk pulang duluan, "Tatan Tatan, muka lo Tatan, nama gue Natania."

"Iyaiya, Nataina, Natani-apalah itu. Gue ada les nih, gue duluan ya, piketnya gue rapel besok deh."

Gue mendecak, "Yaudah, gue tungguin lo besok," Dia cuma muter mata terus cepet-cepet keluar kelas.

"Tan, gue juga udah dijemput bokap," temen piket gue yang lain menatap gue cengengesan, "Minggu depan gue yang bersihin kelas deh. Janji."

Gue pengen bilang kalo nama gue Natania, bukan Tatan kayak yang Mike bilang, tapi gue terlalu males dan capek buat berdebat, "Semerdeka lo deh," jawab gue kesel.

"Makasih ya, Tan," ucapnya lagi, "Kalo gitu gue duluan."

Gue memilih buat enggak menggubris mereka lagi. Lagian kalo semua orang males, ini kelas enggak akan ada yang bersihin sampe kiamat. Dengan segala keikhlasan yang apa adanya, gue jalan ke belakang kelas buat ambil sapu. Sekarang cuma ada gue sama Calum yang belum pulang. Calum sih kayaknya ada ekskul futsal sore ini, sama kayak Ashton.

"Mau aja lo Nat dibegoin," ujar Calum.

Gue noleh ke arah dia, yang kebetulan lagi lepas-lepasin kancing baju seragamnya buat ganti jadi baju futsal. Gue tahu dia lagi membicarakan temen-temen piket gue yang pada pulang ninggalin gue sendirian, tapi gue lagi enggak mood buat membicarakan keenggak-tegaan gue (yang kata Calum harus dikurangin), jadi gue langsung mengalihkan pembicaraan, "Gara-gara kalian nih, semuanya pada manggil gue Tatan!"

Calum ngelepas baju seragam dari badannya dan gue spontan ngalihin pandangan ke arah lain sebelum gue bisa melihat terlalu banyak, "Nanti jadi kebiasaan kalo lo iyain terus. Anak-anak kelas jadi pada manja," sambungnya. Enggak kepancing sama usaha pengalihan pembicaraan dari gue.

"Yaudahlah," sahut gue, yang sekarang lagi berusaha menyibukkan diri dengan menyapu-nyapu kolong meja. Gue ngelirik Calum yang sekarang lagi berdiri membelakangi gue, baju futsalnya masih bertengger di lehernya, membuat punggungnya yang udah lumayan terbentuk terekspos tanpa celah, "Lagian kelasnya juga enggak luas-luas amat."

Calum menoleh ke arah gue sebentar, lalu dengan lincah menurunkan bajunya menutupi badan, "Dosa ngintipin badan orang."

Gue muter mata, "Enggak napsu juga," Gue merhatiin dia yang jalan ngelewatin gue dan mengambil satu sapu yang tadinya tergeletak jatuh di lantai. Dia jalan lagi ke depan kelas sambil bawa-bawa sapu, "Eh Sinchan," tegur gue, dia noleh dan ngangkat sebelah alisnya, "Enggak jadi futsal?"

Dia mendengus, "Udah bagus ya dibantu, pake ngatain segala."

"Iya sori," gue sengaja senyum sumringah pas dia mendelik ke arah gue, "Makasih bantuannya. Hehe."

Calum membalas senyum gue, "Sama-sama," terus dia muter mata, "Hehe," ucapnya niruin gaya bicara gue. Nyebelin.

Btw, LANJUT GA NI? KALO LANJUT KOMEN DULU DONG.

Ayaflu | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang