Calum: Sebelum Pacaran

4.3K 620 913
                                    

CALUM'S POV

Let's talk about the infamous Natania Andrew.

Kalo lagi hujan lebat, Natania adalah tipe cewek yang bakal datang telat ke dalam kelas - dengan senyum semringah dan kepercayaan diri di atas rata-rata - dia melangkah masuk, masih dengan jas hujan warna kuning mencolok yang terpasang kebesaran di badannya. Dia bakal membeceki seluruh isi kelas dan mendapat celaan dari orang-orang yang kena jadwal piket pagi itu.

Kalo lagi pelajaran Matematika, Natania adalah tipe cewek yang bakal dengan senang hati menjemput Bu Sonia di kantor guru dan membawakan buku-buku tugas. Natania kadang enggak bisa menyembunyikan kegemarannya terhadap sesuatu, kadang hal itu juga yang membuat anak-anak kelas menganggap Natania hanya cari muka.

Kalo lagi pelajaran olahraga, Natania adalah tipe cewek yang bakal banyak mengeluh, tapi enggak pernah berani bolos. Mukanya bakal keliatan bete setengah mati kalo Pak Agus meminta kami buat keliling lapangan lima kali. Dan Natania selalu mengkorupsi dua sampai tiga putaran kalo Pak Agus lagi lengah.

Gue selalu memperhatikan Natania dan segala tingkahnya kalo di kelas. Awalnya hanya karena gue merasa Natania adalah cewek aneh, tapi lama-lama gue tahu, Natania bukan aneh, Natania hanya menjadi dirinya sendiri.

Gue melihat, gimana Natania selalu merasa penasaran akan segala hal. Gimana dia benci sama segala sesuatu yang terlihat palsu - tingkah laku, orang dan lain sebagainya. Gimana dia terlihat lebih dewasa daripada yang seharusnya, tapi tetap lucu kayak anak kecil. Gimana dia selalu benar-benar menghargai orang lain. Gimana dia bisa menatap mata lawan bicaranya dan enggak memutuskannya sedetikpun.

Gue menyukai kenyataan kalau Natania enggak sepalsu cewek lainnya.

Saat pelajaran Bahasa Indonesia yang membosankan - ini adalah awal dari segalanya - gue berbalik ke arah Ashton, "Lo cabut enggak?" Tanya gue.

"Iya, Pak, bentar. Gue nyatet ini dulu."

Natania - yang merupakan teman sebangku Ashton - berdeham kecil, "Kalian pada mau cabut?" Gue menatap dia, benar-benar menatap dalam jarak dekat, untuk pertama kalinya.

Matanya perpaduan sempurna antara warna hijau dan biru. Matanya kayak mata seseorang yang percaya kalo setiap mimpi bakal terwujud, seseorang yang selalu melihat kebaikan dari siapapun, "Gue nitip roti boleh, enggak?"

Gue mengangguk. Lalu dia nyengir. Saat dia berbalik untuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya, gue bisa mencium aroma lilac yang menyerbak keluar dari tubuhnya. Dia berbalik lagi ke arah gue buat menyerahkan uangnya, yang tentu aja langsung gue tolak, "Bayarnya jangan pake duit lah."

Dia mengernyit, "Pake apa?"

Gue mengangkat kedua bahu gue, "Pake ucapan makasih lewat line aja udah cukup kok."

"Ngalus mulu Shaolin," cemooh Ashton.

Gue enggak memberikan Natania kesempatan buat bereaksi. Gue segera berbalik dan berkata pada Bu Winona kalo gue izin ke toilet. Tapi sebelum gue benar-benar bangkit dari duduk gue, Natania berbisik pelan, "Udah gue chat ya."

Gue melangkah keluar dari kelas dengan senyum
mengembang siang itu. Chat kami enggak berakhir di kata makasih dan sama-sama doang, omong-omong.

Gue memandangi punggung Natania yang lagi menyusun bekalnya di atas meja. Tupperware warna-warni memenuhi meja kantin yang dia tempati sendiri, "Curi-curi pandang mulu lo kayak mau maling," pandangan gue langsung beralih ke Michael, yang sesudah berkata begitu, dia langsung menegak air mineralnya.

Ayaflu | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang