17. P3 (Part A)

4.4K 676 658
                                    

Gue bukan tipe murid jenius yang bisa mendapatkan nilai ujian tertinggi tanpa belajar. Semua yang gue dapat itu adalah berkat dari usaha gue dalam menghabiskan beberapa buah buku bacaan dalam beberapa malam sebelum ujian.

Gue cuma sedikit lebih rajin dari temen-temen gue yang lain, karena gue percaya kalo sesungguhnya semua orang itu bisa pinter. Tapi, serajin-rajinnya gue baca buku, masih bisa dihitung pakai jari seberapa seringnya gue mampir ke perpustakaan sekolah.

Perpustakaan sekolah gue sama sekali bukan tempat yang cocok buat nongkrong, selain karena faktor ruangan, yaitu AC satu-satunya yang ada di sana udah lama rusak - juga karena faktor penjaganya, yang hampir menyerupai Argus Filch, penjaga asrama di Hogwarts.

Bukan dalam hal penampilan dan wajah, maksud gue, tapi dalam hal kekejaman dan gairah berlebih buat menemukan murid yang melanggar aturan. Bu Nani anti banget sama yang namanya murid bolos dan murid telat ngembaliin buku. Beliau enggak segan-segan buat minta denda atau bahkan menyeret orang itu ke BK.

Gue melirik hati-hati ke arah Bu Nani yang sedari tadi mengamati gerak-gerik gue. Gue terpaksa pergi ke perpus pagi-pagi banget karena Bu Winona - yang memberikan gue list buku yang harus gue pinjam buat karya tulis gue dari dua hari yang lalu - kembali menagih deadline.

Setelah mengambil buku terakhir yang gue perlukan, gue susah payah membawa semua buku-buku itu ke hadapan Bu Nani yang udah melirik gue dari balik kacamata kotaknya. Gue menyerahkan kartu keanggotaan setelah meletakkan semua buku-buku itu ke atas meja.

Setelah melakukan pencatatan nomor buku dan segala macamnya, Bu Nani mengembalikan kartu anggota gue sambil berkata, "Kembalikan tanggal 5. Telat saya denda."

Gue mengangguk, "Iya, makasih Bu," jawab gue, lalu memeluk semua buku itu sebelum membawanya keluar ruangan.

Langkah kali gue semakin berat ketika gue mendekati kelas Velda. Kebetulan banget, orangnya lagi duduk di depan kelasnya - dengan sebelah kaki yang bertumpu di atas kakinya yang satu dan buku novel yang terbuka di pangkuannya - Velda selalu bisa menarik perhatian orang-orang tanpa banyak melakukan usaha.

Oke, jadikan ini sebagai alesan ketiga kenapa gue males banget pergi ke perpus; ternyata letaknya hampir bersebelahan sama kelas XI MIA 1, kelasnya si ular.

Gue tadinya mau sujud sukur kalo Velda terus-terusan fokus ke bukunya dan enggak menyadari keberadaan gue, tapi semuanya buyar ketika anak-anak kelas Velda yang baru mau memasuki kelas mereka, menyapanya sambil berkata, "Ciyeee first cakenya Calum!"

Velda menengadah lalu tertawa kecil. Ia menutup novelnya lalu berusaha memukulkannya main-main ke teman-temannya yang mengejeknya tadi, "Norak! Dasar jomblo!" Teriaknya masih dengan senyum semringah ketika temannya berhasil meloloskan diri darinya.

Ketika Velda mengalihkan pandangannya dari teman-temannya itu, saat itulah dia melihat gue. Gue bisa melihat senyuman bahagianya perlahan pudar, lalu digantikan dengan senyum tipis, "Hai, Natalia," sapanya, sengaja menyalahkan nama gue seperti biasa, seolah gue enggak cukup penting buat dia ingat.

Tapi gue memilih buat enggak menggubris dia sama sekali. Gue terus melangkahkan kaki gue seolah dia enggak pernah ada. Meski jarak gue udah lumayan jauh dari dia, gue masih bisa merasakan tatapan menusuk Velda yang membuat punggung gue terasa panas.

Udah enggak salah lagi, Calum beneran ngasih first cakenya ke Velda. Yang Calum berikan ke gue tadi malam, mungkin cuma sisanya aja.

Gue menajamkan penglihatan gue ketika ada dua orang yang lagi mengobrol serius di depan kelas. Ketika tinggal beberapa langkah ke pintu, gue 100% yakin kedua orang itu adalah Michael dan Cessa. Mereka berdua menoleh ke arah gue berbarengan ketika mendengar gue mendorong pintu kelas, membuat gue tersenyum canggung ke mereka.

Ayaflu | 5SOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang