Final 3 | Juara 1

13 3 0
                                    

= Venus =
Tema: Kata

Diriku dan Ferdian

"Sayang, kamu gak kedinginan? Masuk yuk, anginnya tambah kenceng."

Laki-laki itu hanya tersenyum mendengar perkataanku. Dia menggeleng pelan, lalu kembali ke aktifitasnya. Melukis anak-anak langit bersama dewi malam yang begitu cantik. Aku hanya menghela napas, meraih selimut lalu meletakkan di pundaknya. Dia tidak boleh sakit.

"Sayang, kamu inget gak dulu waktu awal kita ketemu?" Sekilas, memoriku terputar dalam benak. Memori tentang awal semua kisah ini. "Kita ketemu di galeri kamu yang pertama. Awalnya aku kira kamu sombong banget sampai pembeli gak boleh ketemu langsung sama pelukisnya." Aku tertawa mengingat hal itu, begitu pula dia.

Jika kalian menjadi diriku yang dahulu, pasti akan kesal setengah mati saat mengalami hal itu. Seorang pembeli lukisan yang menawar salah satu karyanya dengan harga tinggi tidak dihargai secara pantas. Apa menurutmu itu sopan? Tidak. Mungkin jika aku bersikap arogan dan tersulut emosi, aku sudah mencaci-makinya dengan berbagai kata-kata kasar. Tapi di sinilah aku sekarang. Duduk berdampingan dengan laki-laki yang bahkan menghindariku selama enam bulan pertama.

"Fer, kalau kamu jadi aku dulu, pasti kesel banget. Udah mau beli lukisan yang sama sekali gak ada yang nawar, eh pelukisnya gak mau nemuin." Aku mengerucutkan bibir kesal. Dia tertawa, lalu meraihku bersandar di tubuhnya.

Dia—Ferdianku, seseorang yang istimewa hingga membuat rasa kesal dan benciku padanya menghilang seketika. Dia yang mengajarkanku apa itu arti menghargai seseorang dan meredam emosi dengan tepat. Dia juga yang mengajarkanku apa itu arti perbedaan.

Ferdi meraih secarik kertas yang ada di dekatnya. Menulis setiap kata apa yang ingin dia sampaikan. Aku hanya memerhatikannya, tersenyum saat membaca tulisan rapi yang ada di sana.

'Sekarang kamu tahu alasanku.'

Aku mengangguk. "Aku penasaran sama pelukis model kamu. Akhirnya aku cari tahu, dan ujungnya ... semua sudah berbeda," ucapku seraya mengedikkan bahu. Dia tersenyum, lalu meraih buku sketsa yang tak jauh dari tempat kami duduk di atas rumput. Dia membuka beberapa halaman yang sudah pernah aku lihat isinya dengan cepat, lalu berhenti di salah satu bagian yang baru aku lihat. "Kamu yang buat?"

Dia mengangguk. Sketsa wajahku yang tengah duduk di kursi halaman tadi. Tepat di pojok sketsa hitam putih itu terdapat sepotong kalimat.

'Aku mencintaimu, walau setiap kata pergi meninggalkanku.'

Air mataku menyeruak, tapi senyum lebar merekah begitu saja. Dia Ferdianku, laki-laki dengan segala kekurangan yang ingin aku lengkapi. Dia Ferdianku, laki-laki tanpa kata yang mengucapkan isi kepalanya kepada lukisan. Dia Ferdianku, dan aku senang menjadi bagian hidupnya.

WNC 1st AnniversaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang