Tetes Keduabelas

9.2K 612 42
                                    

Sakura memasukkan beberapa bajunya untuk di masukkan ke dalam kopornya. Menerima ajakan Sasori untuk pergi ke rumah orang tuanya yang kini berada di Sapporo. Sakura tahu, kesalahan terbesarnya adalah melarikan diri dari kedua orang tuanya. Meninggalkan mereka begitu saja tanpa kabar. Sakura memandang sendu satu satunya foto keluarga yang sering dia bawa kemana pun selama ini. Melihat Ibunya yang selalu ceria dan kekonyolan ayahnya yang tertangkap kamera, mereka terlihat seperti keluarga yang penuh dengan kebahagiaan.

Sarada membuka pintu kamar milik Sasuke.

"Ma, apa mama akan mengajakku ke Sapporo??" Sarada berjalan mendekati Sakura dan duduk di sisi ranjang Sasuke.

"Tentu saja, Sayang." Sakura mengacak rambut Sarada.

"Apa papa juga ikut??" Sarada menatapnya penuh harap.

"Entah." Sakura mengangkat bahunya.

Sakura tidak tahu, apakah lebih baik mengajak Sasuke bersamanya untuk pulang ataukah hanya pulang berdua dengan Sarada dan Sasori. Melihat peristiwa terakhir kalinya delapan tahun lalu, Sakura tak ingin memecahkan bisul yang bisa kapan saja meletus. Mebuki mempunyai tempramen yang sama dengan dirinya. Dan Sakura tentu saja sudah menduganya.

"Apa Paman akan menjemput kita besok??" Sarada memangku wajahnya dengan kedua tangaannya.

"Ya, paman akan menjemput kita." Sakura melipat bajunya.

"Apa bibi juga??" Sarada menggaruk kepalanya tak gatal.

"Bibi??" Sakura menaikkan Alisnya.

"Hn." Sarada mengedipkan matanya polos.

"Izumi basan masih di rumah sakit, mungkin besok Shisui Oji membawanya pulang." Sakura meneruskan pekerjaannya.

"Bukan, Izumi basan. Tapi, pria yang cantik yang selalu bersama dengan paman." Sarada menelengkan kepalanya. Sakura tampak terkesima.

"Oh, itu paman Deidara." Jawab Sakura Singkat.

"Dia bilang, dia kekasihnya paman. Apa aku tak boleh memanggilnya Bibi?? Aku dan Bolt sepakat memanggilnya bibi." Sakura terpingkal mendengar cara Sarada menceritakannya. Terlihat begitu polos dan konyol secara bersamaan.

"Ya, terserah kalian." Sakura terkikik, tangannya menutup dan mengunci kopornya.

Izumi tersadar saat merasa tenggorokannya sangat kering. Kapalanya terasa sangat sakit. Matanya mengerjap berusaha menyesuaikannya dengan cahaya lampu kamar rumah sakit. Manik hitamnya sedikit melirik keadaan di sekeliling. Shisui sedang terlelap di sofa tak jauh darinya. Itachi sedang tertidur di samping ranjangnya, jemarinnya menggenggam erat tangan milik Izumi.

Izumi berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Terlintas kejadian terakhir saat dirinya sedang berusaha mencegah Konan, dan Konan mendorongnya tanpa sadar.

"Engh..." Izumi memegang kepalanya sakit saat berusaha mengingat. Tangannya kebas karena jarum infus tertancap di lengannya dan nadinya.

"Izumi." Itachi terbangun dan panik melihat Izumi yang sedang kesakitan.
"Tenanglah, Izumi dokter akan kesini." Itachi memencet tombol merah di atas tempat Izumi terbaring.

"Sakit." Izumi mengerang.

Shisui terbangun dengan keadaan kaget dan panik.

Izumi seakan mendengar dan melihat kejadian berputar di kepalanya. Saat Itachi menolongnya, suara Itachi yang menepuk nepuk pipinya, sentuhan Itachi, wajah Konan, saat Konan membiarkannya jatuh begitu saja. Izumi merasa pandangan Konan waktu itu adalah pandangan wanita yang rapuh dan begitu terluka. Merasa bahwa luka wanita itu lebih dalam dari apa yang pernah dia alami selama ini. Sorot mata yang begitu redup dan penuh dengan penderitaan. Izumi tahu, sebab dirinya juga pernah merasakan. Merasakan rasanya mempertahankan seseorang yang sangat dicintai, tapi seseorang itu tak pernah mencintai. Air mata Izumi tak sanggup menahan sakitnya kepala dan hatinya. Mengabaikan teriakan Itachi yang memanggil dokter. Mengabaikan sentuhan Shisui yang memohon padanya untuk tidak mengingat. Tapi memori dalam kepalanya terus saja berputar.

TEARSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang