XVIII

163 28 7
                                    

Salju turun lagi, tidak lebat, hanya ibarat lulabi pengantar lelap. Perlahan, menenangkan.

Sooyeon masih setia bersila di atas kursi meja riasnya, menatap gumpalan kecil itu berjatuhan dari balik kaca jendela. Chanyeol juga sudah meninggalkan ia kembali sendiri sejak dua jam yang lalu. Persis setelah kalimat saktinya.

Ditengah kekhusukannya pada rinai salju, Sooyeon menangkap objek lain di sisi figura sang ayah. Dua buah medali dari tahun yang berbeda.

Lantas dengan segala kesadarannya, gulungan hitam film lama diputar ulang. Mengisahkan masa dimana segalanya terasa sempurna dan baik-baik saja.

Masa dimana ia berlatih sampai larut, tampil dengan sorak riuh, tepuk tangan meriah saat penyematan medali. Terlebih, sambutan rentang tangan itu.

Ada gemuruh rindu yang tak bertolak kemudian.

Sooyeon menarik kakinya, menekuk lutut kemudian memeluknya erat. Kepalanya ia sandarkan pada puncak tekukan lutut, dan membawa pandangnya kembali memandang keluar jendela.

"Bu, aku merindukan ibu." Bisiknya pada hampa, pelupuk itu mulai membendung.

"Aku rindu room practice, instrumen buatan Mr. Jack, sepatu pointe," satu-satunya tetes air jatuh di malam bersalju.

"Aku rindu menari, bu. Aku rindu penampilanku."

Dan malam bersalju mulai digenangi hujan.

"Aku rindu medali baru, aku rindu peluk kemenanganku."

Semampu apapun ia menutup, tangis pun selip yang terpaksa dikubur itu muncul juga.

"Aku egois, bu. Aku hanya memikirkan diriku," isaknya menjadi.

"Ibu benar, ayah juga. Bohong itu melelahkan. Dan sekarang aku lelah. Aku tidak sekuat perkiraanku. Maafkan atas janji perubahan yang pernah ku ucapkan, bu. Aku ingkar... aku tak bisa menahan egois ku lagi. Aku tak bisa."

"Aku merindukannya bu, aku merindukan... saat dia hanya untukku."

Sesak itu tak lagi dapat ia tampung, kejujuran bagi dirinya sendiri pun tak lagi mampu ia kubur. Ketakutannya bertambah, kekhawatirannya menumpuk. Terlebih dengan segala kenyataan hari ini, Sooyeon menjadi seorang pesimis yang lebih lemah dari apa pun.

"Joon, maafkan aku."

----

Matahari sudah lama jatuh di peraduan, menutup hari dengan dingin yang kian mendominasi. Menginvasi hangat dengan bulir salju yang jatuh kian sering. Pun merenggut paksa harap itu dalam sekejap mata.

Namun begitu, Nayoung masih betah memandangi langit yang mulai kelam. Menghitung setiap detik hilangnya si surya bersamaan dengan setiap ketuk pada dada kirinya yang belum reda.

Sesekali ia memejamkan mata, menikmati sapuan lembut angin muson yang bertiup perlahan dari barat. Balkon apartement selalu jadi favoritnya.

Dalam tiap bayang yang berputar, Nayoung seolah hanya memiliki satu memori sepanjang hidup. Karena yang ditampilkan hanya sekelebat buram dari sosok Hoseok di balik kemudi dan sayup kisah pengantar patah hati.

"Dia sakit, karena itu kami kini lebih protektif terhadapnya. Kalau tidak salah, nama cederanya Lateral Ankle Sprain, aku tidak begitu paham tentang itu, tapi begitu mereka menyebut apa yang tengah dia derita."

Nayoung membuka matanya, mendapati pasti gelap langit yang melingkupinya.

"Sejak duduk di sekolah dasar, dia sudah menjadi ballerina yang menjanjikan. Tapi cidera tahun lalu membawanya gagal masuk seleksi akhir untuk persiapan kontingen olimpiade selanjutnya."

Ceruk hatinya kian berlubang, rasa bersalah dan egoisme menyertai setiap galian yang tercipta.

"Awalnya kami pikir itu cidera biasa, dia hanya butuh istirahat beberapa bulan. Tapi... dua bulan lalu dia kembali alami cidera yang lebih serius. Dia frustasi berat karena terpaksa harus berhenti. Bahkan.... Dia sempat berpikir untuk mengakhiri semuanya sendiri."

Tak sanggup, Nayoung bangkit dari kursi mangkuknya di sudut balkon. Melangkah cepat menuju kamar dan mengurung diri dalam balut selimut tebalnya.

Nayoung masih ingat dengan jelas bagaimana gurat kekhawatiran itu bahkan memenuhi wajah Hoseok kala pemuda itu berkisah tentang Sooyeon. Berat serta serak bahana Hoseok dalam setiap kata yang terucap begitu menyayat hatinya sebagai pendengar.

Hingga akhirnya Nayoung menyadari, betapa mereka menaruh sayang lebih terhadap Sooyeon. Istimewanya gadis itu hingga membuatnya begitu kecil dari segala sisinya.

Nayoung merasa ciut setiap kali harus berusaha baik mendengar nama itu disebut.

Terlebih, bagaimana cara tatap dan perlakuan yang seseorang berikan terhadap Sooyeon. Seperti sebuah keabsahan yang tidak sewajarnya mendapat bantahan.

Ia kian menyadarkan diri akan tempat ia berdiri.

Namun, ada sisi yang kemudian menyadarkan ia akan ketidak terimaan. Sisi dimana ia yakin bahwa walau sempit, tapi tempat itu miliknya. Utuh miliknya.

Perang batin dan logika yang selalu diresahkan Jenny padanya benar. Membuatnya merasa bodoh, dan kehilangan jati diri.

Satu sisi berkata bahwa sebaiknya ia mundur saja, namun sisi lain mengharuskan ia untuk kokoh dan melawan badai.

"Aku benci diriku sendiri. Benci pada ketidak berdayaan ini."

__________________

Chapter 18.

Entah ada atau nggak yg penasaran, tapi disini aku sedikit kasih kejelasan tentang sakit yg diderita Sooyeon sampe dia nyaris bunuh diri di chapter awal juga, konflik batin dua cewek yg jd topik cerita.

Kira2, banyak mana ya?
#teamsooyeon
atau
#teamnayoung

Yuk, kritik saran d tunggu ya.

xoxo.

My Secret Love Song (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang