Namjoon masih setia diam menatap langit-langit yang bukan biasanya. Ya, karena memang kini ia tidak berada di kamarnya, tapi di kamar tidur Sooyeon. Namjoon sudah berjanji untuk menemani Sooyeon malam ini dengan setia berbaring disisi gadis itu.
Pikirnya masih menerawang pada untaian kisah tiga jam yang lalu. Saat ia dan gadis di sebelahnya tengah menikmati sirup maple bersama di ruang yang sama.
Namjoon jeli, sejak awal menginjakkan kaki ke dalam ruang paling privasi milik Sooyeon, mata sipitnya sudah menangkap segala jenis janggal yang ada.
Banyak figura dan medali yang tidak lagi tersusun rapi pada dinding kamarnya, pajangan-pajangan boneka ballerina atau pun pernak pernik cantik khas gadis penari dengan rok tutu mekarnya. Namjoon tak mendapati pemandangan itu tadi, tidak sama sekali. Kecuali dua medali yang kini tergantung di sisi figura seorang pria nan berwibawa, ayah Sooyeon. Medali pertama dan medali terakhir yang berhasil Sooyeon ambil alih.
Hingga, sampai lah mereka pada percakapan serius yang sempat tertunda karena kehadiran Taehyung dan Nayoung di dapur Alkatraz.
"Tumben membereskan kamar," sindir Namjoon saat mendudukan diri pada kursi bulat di sisi rak buku.
Sooyeon yang ikut duduk pada kursi berodanya berdecih kesal, "Memangnya kenapa kalau kamarku rapi?" katanya sebelum duduk dengan posisi kaki bersila.
"Kau merencanakannya, ya?"
"Hm?"
"Pamer kamar rapi mu padaku, makanya rela berbagi sirup maple favorit mu." Namjoon menenggak sirup hati-hati, sembari mengatur laju nafas yang mulai berat dan tertekan. Dadanya sempat keras dan terasa ditekan, sesak.
Dalam hatinya, Sooyeon memuji kecerdasan laki-laki di hadapannya. Namjoon benar-benar jenius, sangat mengerti akan clue yang dia berikan.
"Kemana mendalimu?"
"Disimpan, itu menyakitkan saat aku menatapnya."
Sooyeon tegar, ya mencoba. Dia mengulum senyum, meyakinkan hati tentang apa yang harus segera disampaikannya.
"Tapi kau menyisakannya."
"Mereka duniaku, Joon. Ibu dan kebahagiaan yang hidup dalam jiwaku. Aku hanya ingin menjadikan mereka saksi, bagaimana dulu aku pernah memulai, dan kini aku juga telah mengakhirinya." Arah pandang mereka sama, fokus pada dua medali berukuran berbeda.
Sewajarnya, lelaki itu kemudian bergerak perlahan turun dari sofa, menghampiri Sooyeon yang hanya berjarak tiga langka darinya, meninggalkan gelas berembun pada rak lemari yang kosong.
Berjongkok Namjoon di hadapan Sooyeon, "Begitulah kehidupan, Yeon. Ada saat ketika kau memulai dan ada saat kau menyudahi, sebut saja takdir Tuhan.
Kau sudah melakukan segalanya, pentas perdana, pemeran utama, idola, kau bintangnya."
Genggaman itu ikut melingkupi gelas kaca di tangan Sooyeon, membantu es di dalamnya meleleh lebih awal sebab terlalu hangat.
"Berhenti menyalahkan dirimu, kau yang terbaik."
Sooyeon mengangguk setuju, "Hmm, kau benar. Sekarang, aku hanya merasa rindu, Joon."
"Untuk?" Namjoon terlihat antusias, meski masih menyisakan beberapa tanya tapi pengalihan Sooyeon bukan masalah.
"Ya, latihan, menari, sepatu pointe."
"Sayang sekali, kukira kau rindu aku."
"Memangnya kau merindukanku?"
"Kapan sih aku tidak merindukan mu, hm?" Namjoon kian mengeratan genggamannya, lantas membawa tautan tangan mereka bergerak kecil.
"Jadi kau akan merindukan ku nanti?"
"Hm?"
"Kau akan merindukan ku?"
Namjoon menangkap itu, tatapan yang sama dengan yang Sooyeon berikan sesaat sebelum datangnya Kim Taehyung ke dapur Alkatraz dan menawari Nayoung minuman.
Tatapan yang membuat Namjoon terenyuh, sendu yang kelewat dalam, dan membingungkan. Jantungnya bekerja tak normal, berdetak begitu cepat memompa darah, membuatnya bergetar juga.
"Yeon, kau akan pergi?" serak itu menjamu cara bicaranya, tenggorokannya terasa serat dengan sisa manis sirup pun sebuah ketakutan yang tiba-tiba datang.
"Benar kata mereka, kau terlalu cerdas untuk dibodohi."
Menggeleng, Namjoon mengangkat wajahnya pula. Mempertemukan pandangan mereka sebelum kemudian bertumpu pada lututnya agar menyamai tinggi Sooyeon yang duduk di atas kursi.
"Hei, jangan menangis." Diusapnya linangan itu dengan ibu jari sembari terus menggelengkan kepala, menolak.
Sooyeon tertawa dalam tangisnya, tawa yang terdengar pilu untuk Namjoon di hadapannya. "Kau juga jangan menangis."
Gadis itu ikut mengusap setengah wajah Namjoon dengan sebelah tangannya yang meninggalkan genggaman pada gelas kaca. Pelan menyusuri dari pelupuk hingga rahang tegasnya. Sambil tersenyum, Sooyeon kemudian menyibak beberapa anak rambut di kening Namjoon, menatanya agar memperlihatkan papan kening yang kini berkeringat dingin.
"Aku boleh ikut?" Namjoon masih mengusap wajah kecil yang kian basah akan air mata.
Sooyeon menggeleng, "Tidak boleh, aku harus serius agar benar-benar pulih."
"Pulih?"
"Ya, aku akan pergi ke Jerman, terapi bersama paman Kim disana."
"Ayah?"
Entah mengapa ada kesal yang menguap ketika Sooyeon menyinggung perihal sang ayah. Pria yang telah memberikan masa dimana Namjoon kecil diharuskan memilih arah tanpa kepastian tujuan pula. Pria yang begitu Namjoon panuti sekaligus ia hindari.
Dan apa tadi? Terapi Sooyeon?
Namjoon bangkit perlahan dari posisi berbaringnya, meninggalkan Sooyeon yang sudah terlelap.
Lengannya bergerak merogoh kantong jaket yang tadi ia kenakan, ponselnya.
Jika dipikir logis, bukankah ini perkara mudah? Namjoon tak perlu bergelut dengan hatinya. Namun sisi lain hatinya menolak keras. Jerman tak pernah ia ingini untuk dikunjungi.
Tapi Sooyeon akan kesana, dalam jangka waktu yang lama.
"Kau membawa kelemahanku, Yeon."
______________________
Chapter 20.
Ada yang kangen NamjoonxNayoung moment? ㅋㅋㅋㅋ
Udah beberapa chapter Nayoung nya minim banget, hehehehexoxo
KAMU SEDANG MEMBACA
My Secret Love Song (ON HOLD)
FanfictionInginku adalah agar semuanya tak berubah. Akan dan selalu sama. Karena sungguh, perubahan membuatku canggung bahkan untuk sekedar bernapas saja. -knj-