Warung Bu Karti tidak jauh berbeda dari warung-warung lainnya. Menunya paling hanya mi instan, nasi atau mi goreng, dan beberapa gorengan serta minuman saset. Tidak menarik dan rasanya biasa saja. Namun, tempat ini sangat digandrungi oleh KVLR karena harganya murah dan pemiliknya tidak pernah keberatan didatangi anak-anak sekolah pada jam sekolah.
Bau mi instan sudah menguar kuat saat kakiku melangkah mendekati warung itu. Beberapa siswa berseragam Mayapada sudah duluan menancapkan pantat di kursi warung—sebagian besar di antara mereka pasti idiot KVLR. Sekitar lima orang merokok dengan bebasnya, lainnya sibuk menghabiskan makanannya dengan rakus.
"Hei, By!" seru seseorang tiba-tiba.
Aku menoleh padanya. Itu Anggita, Ratu KVLR. Bukan, dia bukan pacar Ruben—Komandan idiot itu tidak pernah menunjukkan tanda-tanda menyukai cewek, membuatku berpikir dia sesungguhnya gay. Dia pacar Dhimas dan menjadi satu dari segelintir cewek angkatanku yang terlibat dalam geng ini. Ditambah lagi dia lumayan manis, membuat banyak anggota KVLR yang memujanya.
"Tumben ke sini. Nyari Ruben?" tanyanya sembari menyuruhku duduk di sebelahnya.
"Apa lagi?" sahutku singkat, sebelum mengiyakan ajakannya berhubung warung ini tidak punya ruang lagi selain di sebelah Anggit. "Di mana?"
"Tau tuh, biasanya juga udah nongol. Lagi beresin markas kali. Abis pesta dia."
"Pesta? Yang tadi dia kayak orang hilang arah itu?"
"Iya, lo belum tahu? Anak-anak pada ngeganja, By. Barusan beli dari nggak tau siapa." Anggit bergidik ngeri. "Untung aja Dhimas nggak ikutan. Gila aja apa. Gue nggak setuju mereka nge-drugs, di sekolah lagi. Goblok nggak sih?"
Idiot itu. Heran. Semakin ke sini semakin bego. "Jadi kemarin tiga ratus buat weed? Bego emang."
Anggit mengangguk. "Sebenernya, yang pertama kali punya ide buat ngeganja itu Herman, mantan komandan yang masih suka ikut campur urusan geng. Ruben udah pengin nolak, tapi Dhika penasaran. Akhirnya mereka beli."
Kepalaku terasa berdenyut. Semakin lama, aku semakin tidak mengenal Ruben. Dia bukan lagi saudara kembarku. Aku mengambil sedotan dan ikutan meminum es jeruk milik Anggit.
"Mereka emang manusia gila."
"Hidup Ruben cuma buat main, Git." Aku menatapnya. "Mungkin awalnya dia ragu-ragu, tapi dia harus nyoba weed. Justru gue bakal heran kalau dia nggak beli ganja saat ada kesempatan."
Anggit tersenyum miris. "Ngomong-ngomong, itu mereka."
Aku menoleh. Ruben dan dua idiotnya—Dhika dan Dhimas—berjalan memasuki warung. Tampak jelas kalau Ruben dan Dhika masih dipengaruhi benda yang mereka bakar tadi siang. Mata Ruben benar-benar merah. Kurasa sebentar lagi dia bakalan pingsan.
"Ehh, Ruby gue tercintaa." Ruben melepaskan diri dari Dhimas dan menepuk pundakku. Dikeluarkannya kalung mutiara Bunda dari kantong celananya. "Nih, buat lo. Hadiah karena gue sayang sama elo."
Aku hendak meraihnya saat tiba-tiba dia menariknya. "Gue nggak punya waktu buat ngeladenin elo, Ben."
"Gue cuma mau minta lima puluh lagi. Gue butuh sesuatu biar seenggaknya besok gue cukup waras buat masuk kelas si Har."
Biar cepat, aku mengeluarkan selembar uang biru dan membantingnya di atas meja. "Nih. Selamat mengikuti kelas Pak Har."
Aku merebut kalung mutiara Bunda dari tangan Ruben dan segera pergi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika orang tua kami tahu. Aku tidak berani membayangkannya.
Aku hanya tahu, Ruben telah membawa bencana bagi dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Short StoryKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.