Benar saja, sepulang sekolah, jalanan di tengah area sekolah dipenuhi siswa-siswa KVLR yang sedang berkelahi dengan siswa sekolah sebelah. Gerbang sekolah ditutup demi keamanan—bahkan para satpam pun tidak berani melerai dan hanya menyaksikan tawuran itu dari dalam seperti mendapat tontonan gratis.
Anggit segera berlari ke gerbang dan berusaha mengintip. Aku mengikutinya. Pertarungan satu-lawan-satu dalam jumlah besar itu sedang berlangsung seru-serunya. Bahkan seorang siswa dari sekolah sebelah (yang bisa dibedakan dari seragam khas sekolah mereka) melempar sebuah batu. Untungnya batu itu tidak mengenai siapa pun. Pantas saja tidak ada satpam yang berani melerai.
Dhimas berhadapan langsung dengan cowok yang tidak tampak seperti murid SMA. Dia tampak jauh lebih garang, bahkan aku akan percaya jika dia adalah preman jalanan yang ikutan tawuran karena sedang bosan. Tapi Anggit bilang, itu Robby, bajingan yang tadi berusaha melukai Anggit.
Wajah Anggit kembali pucat pasi. "Gimana nih By? Gue nggak mau terjadi sesuatu sama mereka."
"Sesuatu pasti terjadi pada mereka kalau mereka memilih tawuran," gerutuku. "Para idiot itu! Mereka nggak pernah kapok!"
Tapi, meski aku benci setengah mati pada keputusan mereka untuk tawuran, aku sangat paham. Ini adalah aksi KVLR membela salah satu anggotanya. Aku lebih benci lagi pada bajingan GS yang memulai semua ini. KVLR ada di luar sana, mempertaruhkan fisik serta buku pelanggaran mereka, demi membela anggotanya. Aku tidak suka mengakui bahwa sesungguhnya, aku menghormati mereka.
Tiba-tiba saja, terdengar sirene dari kejauhan. Sial. Siapa yang memanggil polisi?
Makhluk-makhluk idiot di luar segera berhamburan meninggalkan tempat itu. Dhimas masih bertarung dengan Robby tanpa memedulikan sirene itu. Ruben dan Dhika berusaha menarik Dhimas, namun jelas, cowok itu lebih rela ditangkap daripada meninggalkan Robby, musuhnya saat ini, tanpa berhasil membuatnya jera.
Polisi turun dari mobil. Tiga pimpinan KVLR serta beberapa orang GS, termasuk Robby, diringkus dan dimasukkan ke dalam mobil polisi.
Tubuhku terasa lemas. Tidak. Jangan.
Tapi sekeras apa pun aku berteriak, mobil polisi itu menjauh. Dengan Ruben di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
ContoKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.