Kalung Bunda sudah "ditemukan" di salah satu laci meja riasnya, dan selama seminggu, hidupku aman tenteram. Ruben tidak berulah dan rupanya berhasil masuk ke dalam kelas Pak Har tanpa membuat kericuhan. Idiot itu tidak meminta uang lagi, membuatku mengira dia tidak lagi membeli ganja, entah karena kapok (yang rasanya tidak mungkin, mengingat sifatnya) atau memang belum bisa membeli lagi dari koneksinya.
Tidak memikirkan Ruben selama seminggu ternyata mampu membuat sakit kepalaku hilang. Dia benar-benar menjengkelkan dalam segala cara. Bahkan bernapas saja pun aku membencinya—karena baunya busuk akibat sering merokok.
Pagi ini aku sudah bersiap berangkat dengan santai, toh hari ini memang tidak banyak tugas atau ulangan. Aku tidak terburu-buru, bahkan dengan tidak peduli mengekori sebuah bus yang tidak bisa diselip. Hari ini rasanya tenang sekali. Aku jadi curiga.
Sesampainya di sekolah, tidak seperti biasanya, tidak ada guru yang berdiri di dekat gerbang sekolah. Guru-guru SMA Mayapada rajin-rajin, jadi agak mustahil hari ini tidak ada siapapun di sana. Yang ada malah Nala, tampak berdiri dengan cemas.
Begitu aku turun dari motor, Nala langsung berjalan menghampiriku dengan cepat. "By, gawat!"
"Eh, ada apa?" tanyaku sambil mengantongi kunci motor. Jantungku terasa berdetak lebih cepat, entah karena ketergesaan Nala atau memang firasatku memburuk seketika.
"Barusan Pak Har ngamuk. Katanya ada pegawai yang nemu narkoba di deket gudang sekolah!"
Sial. "Deket gudang sekolah" yang dimaksud Nala adalah markas KVLR. Ditemukannya ganja di sana pasti akan membuat Pak Har menindak tegas tersangka yang terlibat. Dan yang jelas....
"Ruben dan Dhika barusan diseret masuk ke ruangan Pak Har!"
Oh sial. Aku segera berlari ke ruangan Pak Har. Bencana bagi Ruben sudah datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Cerita PendekKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.