Ruben
Malam setelah pulang dari penjara, jujur, aku masih sebal dengan Ayah. Oke, mungkin tidak pada tempatnya. Mungkin benar kata Ruby, Ayah tidak siap bertemu denganku, meski aku tidak tahu kenapa demikian.
Namun malamnya, Ayah memanggilku ke ruangannya. Dengan jantung berdebar kuat, aku pergi ke sana. Tanganku terasa kaku saat hendak mengetuk pintu. Aku tidak mau mengakui, tapi ternyata, aku takut juga. Aku takut akan apa yang hendak dikatakan Ayah padaku.
Hubunganku dengan Ayah tidak pernah bisa dikatakan sangat baik, karena ia lebih sering ada di luar untuk bekerja dan di kamar untuk menyelesaikannya. Posisinya di perusahaan tempatnya bekerja sudah lumayan tinggi, jadi ia sangat sibuk. Jarang sekali ia berbincang denganku ataupun Ruby, sehingga percakapan kami ini akan sangat canggung. Menguatkan diri, aku mengetuk pintu.
"Masuklah," ujar Ayah dari dalam.
Aku membuka pintu. Ayah sedang duduk di depan komputernya, mengetikkan sesuatu. Ia menyimpan pekerjaannya, lalu berputar menghadapku. Ayah tampak jauh lebih kurus dari yang terakhir ku ingat. Dan memang selama ini, aku jarang memperhatikannya.
"Duduklah." Ayah menyeret sebuah kursi dan memosisikannya di hadapannya.
Aku duduk. Kami tidak pernah sedekat ini. Aku baru sadar Ayah punya sebuah tahi lalat di ujung hidungnya. Kantong matanya lumayan tebal, namun matanya tetap seperti dulu. Tegas sekaligus lembut. Kuat sekaligus hangat.
"Ada apa, Yah?" tanyaku—sial, suaraku terdengar gemetar.
"Udah lama ya, kita nggak bicara seperti ini." Ayah tersenyum. "Apa ada yang ingin kamu bicarakan dengan Ayah?"
Suaraku tercekat. Ah... apa yang bisa kubicarakan? Aku bukan tipe anak yang dekat dengan ayahnya. Kurasa sejak dulu aku lebih dekat dengan Bunda, meski, yah, tetap tidak sedekat itu. Aku tidak yakin apa yang bisa dibicarakan padanya.
"Nggak ada? Kalau gitu Ayah yang nanya." Ia menunduk sejenak, memainkan tangannya. "Kenapa kamu gabung Kavaleri?"
Aku menghela napas. "Entah, mungkin aku merasa tertantang."
"Ayah juga dulu pernah gabung KVLR," ujarnya, membuatku melongo. "Iya, sungguh. Tapi cuma jadi anggota, nggak kayak kamu yang jadi Komandan."
"Kenapa Ayah gabung?"
"Mungkin nggak jauh beda sama kamu. Banyak orang yang gabung karena ingin... berkuasa. Ingin menjaga martabat sekolah. Ingin melindungi sekolah."
Aku terdiam. Memang begitu kebanyakan. Tapi itu bukan alasanku. Alasanku memang murni merasa tertantang. Oke, itu alasanku, ya. Jangan tanya-tanya lagi.
"Ben, kalau kamu memang ingin melindungi sekolah, kenapa nggak jadi satpam aja? Nggak perlu belajar, bisa ngerokok, dapet gaji. Win-win solution."
Oke, damn, aku merasa benar-benar tertohok. Dan belum pulih dari rasa kagetku, Ayah menunjukkan sebuah foto. Membuatku makin syok, karena itu adalah foto yang sama dengan yang baru saja kudapatkan: foto penjara. Yah, apa pun istilahnya, aku lupa.
"Tawuran juga, keren kan?" Ayah menyeringai. "Kakekmu dulu juga bilang begitu pada Ayah. 'Jadi satpam aja kamu, nggak usah sekolah! Malu-maluin.'"
"Lalu?"
"Yah, dimarahin gitu, jelas Ayah marah pada Kakekmu. Tapi lama-lama, Ayah paham bahwa sebenarnya Kakekmu nggak mau Ayah menyia-nyiakan sekolah."
Aku menunduk. "Maaf, Yah...."
"Ayah menghormati keputusanmu, apa pun itu. Hanya saja, ketahuilah, kami tetap ada di sini, untuk kamu." Ayah tersenyum. "Ayah minta maaf juga karena jarang ada untuk kamu. Tapi saat kamu butuh Ayah, Ayah akan ada di sini."
"Makasih, Ayah."
Ayah berdiri, merangkulku. Erat. Dan aku merasa jarak di antara kami lenyap seketika.
Guruku cerita, temenku yang pernah ditangkap polisi dibilangin, "Gak usah sekolah, jadi satpam aja kamu," sama ayahnya. nyesek :')
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
ContoKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.