Ruben jarang sekali bisa bertahan di dalam kelas, mengikuti pelajaran, lebih dari 30 menit. Dia bisa, sesungguhnya. Hanya saja, satu dari dua kondisi ini harus terpenuhi: guru itu memberi ultimatum akan melapor pada Kepala Sekolah jika Ruben membolos, atau Kepala Sekolah sudah mengancam akan memanggil kedua orang tua kami jika dia tidak segera membenahi diri.
Tentu saja, Ruben tidak sepenakut itu. Oh, jelas, dia tidak akan layak jadi Komandan KVLR jika dia takut pada guru dan Kepala Sekolah. Satu-satunya yang dia takuti adalah Ayah, yang meskipun pendiam, namun sangat tegas dan kaku seperti karang. Biar bagaimanapun, Ruben tunduk pada Ayah, dan guru-guru di sekolah tahu itu. Jadi, mereka mengancam akan melapor pada Kepala Sekolah, yang pada akhirnya akan melapor pada Ayah, dan Ruben tidak mau Ayah tahu soal kelakuannya.
Seperti sekarang, dari jendela kelasku, aku dapat melihat Ruben berjalan dengan santainya melewati lapangan, menuju taman belakang sekolah. Di belakangnya, dua orang berjalan mengikuti. Kurasa itu dua tangan kanan Ruben di KVLR—kalau tidak salah namanya Andhika dan Dhimas. Tiga idiot itu berjalan tanpa ragu sambil sesekali membahas sesuatu entah apa.
Jangan tanya berapa kali Ruben melakukan itu. Terlalu sering, sehingga lebih mudah menghitung berapa kali dia ada di dalam kelas ketimbang berapa banyak waktu yang dia habiskan di luar kelas. Meskipun begitu, Ruben menghabiskan sebagian besar waktunya di sekolah dan sekitarnya. Dia pulang ke rumah hanya lima kali sebulan, itu pun datang malam hari saat orang tua kami sudah tidur dan pergi lagi pagi sebelum mereka bangun.
"Ruben?" tanya Nala, teman sebangkuku, saat dilihatnya aku sudah melamun terlalu lama.
Aku mengangguk. "Siapa lagi?"
"Apa kabar saudara ganteng lo itu?"
"Baik, belum pulang buat numpang mandi lagi sejak Senin minggu kemarin."
"Ganteng tapi jorok. Lumayanlah. Menurut lo, gue bisa nggak jadian ama dia? Kayak di novel-novel gitu."
"Jangan ngimpi." Aku mendengus. "Ruben is nothing like those bad boys they sell. Ruben nggak minum susu—pembuluh darahnya mungkin udah diisi teh, kopi, dan bir murahan."
"Sounds bad. Tapi keren." Nala mendesah. "Andai dia nggak separah itu, mungkin gue bakal ngejar-ngejar dia."
Membayangkan Nala, gadis baik-baik dari keluarga baik-baik ini berpacaran dengan Ruben, aku bergidik sendiri. Ruben hanya akan menghancurkan Nala. Baginya, hidup hanya main-main. Dia hanya hidup sekali—dan kesempatan yang tidak bisa diulang itu harus dimanfaatkan sebaiknya. Bagi Ruben, itulah hidup yang sebenar-benarnya.
Karena itu dia tidak pernah mau dikurung di dalam kelas. Yang menahannya dari berkelana jauh dan kabur dari sini hanyalah uang dan Ayah.
"Bisa sih, lo jadian sama dia," sahutku akhirnya. "Cuma inget aja, ada juga novel yang nyeritain cewek SMA hamil di luar nikah dan jadi ibu-ibu di umur 17 tahun."
"Sounds terrible," gerutu Nala. "Udah ah, mending gue nyari yang lebih menjanjikan aja. Pacaran sama cowok nakal mah lelah batin sendiri. Nanti potek hati dedek gara-gara dia banyak yang mau."
Mungkin saja. Tapi benar juga. Pacaran dengan cowok nakal tidak akan pernah terasa menyenangkan, terutama jika kamu tergolong anak alim yang tidak pernah bolos dan selalu menduduki peringkat tinggi di kelas. Terlebih, itu mustahil.
Aku melirik lagi ke arah jendela. Ruben dan dua bawahannya sudah tidak terlihat. Ah, akan bagaimana nasibnya jika dia tidak mau berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Krótkie OpowiadaniaKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.