"By, kamu lihat kalung mutiara Bunda nggak?"
Aku menoleh. Bunda sedang mengeluarkan seluruh kalung dalam kotak perhiasannya. Kalung mutiara yang dimaksud pasti kalung yang dibelikan Ayah waktu hari jadi mereka yang ke-15. Bunda sangat menyukai kalung itu dan sering menggunakannya ke acara-acara yang dihadirinya.
Aku masih merasa tidak enak pada Bunda akibat kejadian kemarin, meski tampaknya Bunda sudah tidak begitu memedulikannya. Sekarang, ia hendak pergi entah ke mana, dan kalung mutiara itu hilang. Aku mengernyit. Kalung itu tidak pernah meninggalkan kotak perhiasan Bunda selama lebih dari sebulan.
"Enggak, Bunda. Emang kenapa?" Aku menghampirinya.
"Nggak ada di sini. Ah, mungkin Bunda lupa naruhnya." Bunda membereskan meja riasnya. "Kamu nggak ke sekolah? Telat nanti."
Setelah berpamitan, aku segera berangkat ke sekolah. Aneh. Tidak mungkin kalung Bunda hilang begitu saja. Dan lagi, tidak ada sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini—kecuali Ruben yang pulang setelah sekian lama. Tidak mungkin kan, Ruben yang mengambilnya?
Astaga, kurasa aku harus menanyakan soal ini padanya. Tidak ada salahnya. Lagipula aku tidak percaya Ruben yang mengambilnya. Dia tidak mungkin mencuri, kan?
Jadi saat istirahat, aku pergi ke markas KVLR. Aku tidak pernah takut pergi ke sini, tak seperti kebanyakan cewek di Mayapada. Toh Ruben adalah sang Komandan, jadi jika ada satu idiot KVLR yang berani mengusikku, dia akan tahu akibatnya.
Dari luar, sudah tercium bau-bauan aneh yang bukan bau rokok. Beberapa anggota KVLR yang tampak mengelilingi pintu sambil melirik ke dalam dengan penasaran. Ada sesuatu yang terjadi di sini—dan sesuatu itu tidak mungkin baik. Beberapa dari mereka menyadari kehadiranku dan segera membangun benteng untuk menutupi pintu.
"Ruben. Dia ada?" tanyaku tanpa basa-basi.
Bawahan KVLR yang betulan idiot itu berbisik-bisik dengan temannya yang segera ngacir. Aku memelototinya, namun dia tidak bergerak sedikit pun sampai tangan kanan Ruben, Dhimas, keluar.
"Ruben?" tanyanya.
"Ruben."
"Lagi sibuk." Dhimas lalu mengibaskan tangannya, menyuruhku pergi.
Dengan sebal aku lantas berteriak. "Ruben! Keluar lo! Pengecut, bisanya cuma sembunyi di belakang kroco-kroco lo ini! Keluar!"
Terdengar suara meja berderak dan umpatan khas Ruben sebelum pada akhirnya manusia idiot itu keluar dari markasnya. Mata Ruben memerah dan tubuhnya benar-benar busuk. Bau-bauan aneh yang sedari tadi sudah tercium sekarang makin kuat. Aku menatapnya tidak percaya.
"Lo abis ngapain?" tukasku langsung.
"Lo ngapain di sini?!" bentak Ruben. Napasnya sangat bau—dan bau ini jelas-jelas bukan bau rokok. "Pergi lo!"
"Jawab gue! Lo ngapain di dalem sana?!"
"Bukan urusan lo!"
"Ini jelas-jelas urusan gue! Lo ngerokok?"
Ruben memalingkan wajah. Meski samar, telinga Ruben memerah. Dia tidak merokok. Dia membakar sesuatu yang lain.
"Lo... lo nge-drugs?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Historia CortaKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.