Aku melongok ke dalam ruangan Pak Haryanto. Sebagai kepala sekolah, beliau punya ruangan paling besar dan paling mewah di Mayapada. Sebuah lemari buku besar berdiri kokoh di belakang meja Pak Har, di mana ia sedang duduk menghadap dua siswa, yang kukenali sebagai Ruben dan Dhika.
Sepertinya Pak Har melihatku, karena beliau mengisyaratkanku untuk masuk. Aku mengetuk pintu dan membukanya. Wajah Ruben cerah sesaat, sebelum dia menyadari aku tidak datang untuk menyelamatkannya. Meskipun aku kembarannya, makhluk idiot itu perlu dihukum biar kapok.
"Permisi Pak," ujarku lirih.
"Ya, ya." Pak Har tampak sedang menatap dua buku yang penuh tulisan merah di atasnya. Butuh sesaat bagiku untuk menyadari buku apa itu: buku pelanggaran Ruben dan Dhika. "Duduk di sana."
Aku segera menghampiri sofa yang ditunjuk Pak Har dengan dagunya. Jantungku berdebar kencang. Aku merasa tegang. Entah bagaimana dengan Ruben dan Dhika, si Tertuduh.
"Jadi," Pak Har menegakkan posisi duduknya, "ada yang ingin menjelaskan ganja itu?"
Sunyi. Ruben dan Dhika saling melirik. Ruben tidak tampak seperti menyalahkan Dhika. Dia justru tampak kebingungan hendak menjelaskan dari mana. Jika ada sesuatu yang paling kusukai dari kembaran idiot itu, hanyalah bagaimana dia tidak pernah mau menyalahkan orang atas apa yang dia perbuat. Dan jika dia sudah ketahuan, dia akan mengakui dan tidak pernah mengelak.
"Ruben, jelaskan." Pak Har menginterupsi diam mereka. "Katanya kamu ketua KLR atau apa itu."
"KVLR, Pak," sahut Ruben. "Kavaleri."
"Ya, ya, apalah itu. Bagaimana bisa ganja di ruangan dekat gudang, yang katanya lagi, jadi markas KLR?"
Menyerah membenarkan kesalahan Pak Har, Ruben menegakkan posisi duduknya. "Saya-"
"Saya yang membelinya, Pak!" seru Dhika tiba-tiba. Semua yang ada di ruangan ini kaget. "Ruben yang membelinya, tapi saya yang memaksanya beli."
"Dhik!" hardik Ruben. "Pak, saya-"
"Saya, Pak, percayalah. Kalau Bapak ingin mengeluarkan seseorang karena masalah ini, keluarkan saya saja!"
Pak Har langsung menggebrak meja. "Kalian ini, malah saling tuduh. Terserah siapa pun yang beli, tapi ini artinya anak KLR mengonsumsi ganja secara ilegal. Hukumannya bisa dipenjara, tau?!"
Ruben dan Dhika hanya menunduk. Aku menghela napas, sekaligus merasa berdebar. Aku tidak bisa membayangkan Ruben dipenjara gara-gara narkoba. Penjara adalah tempat-tempat orang jahat. Apakah mereka akan bisa selamat kalau mereka dipenjara? Berbagai bayangan buruk melintas di otakku, membuatku menggelengkan kepala. Kali ini, kelakuan Ruben memang keterlaluan.
"Kalian buatkan daftar nama semua anggota KVR lalu berikan pada saya. Saya akan panggil orang tua kalian." Pak Har lalu mengambil sebuah kertas. "Tulis di sini."
Ruben menurut dan menuliskan semua nama yang dia ingat. Dhika menambahkan beberapa. Wajah mereka pucat. Ruben setengah mati mencoba menghindar dari Ayah, tapi sekarang dia bakal ketahuan. Sementara Dhika, aku tidak pernah bertemu dengan keluarganya, tapi dia pasti juga tidak suka dengan perintah Pak Har ini.
"Saya masih berusaha menolong masa depan kalian," ujar Pak Har serius. "Jarang ada orang yang dikeluarkan dari SMA jadi orang yang bener, apa lagi kalau kelakuannya kayak kalian ini. Tapi kalau kalian ngeganja lagi, saya sendiri yang akan mengusir kalian dari sekolah. Mengerti?"
"Iya, Pak," sahut Ruben dan Dhika kompak.
"Ya sudah. Sampai akhir minggu ini, kalian wajib langsung pulang habis sekolah. Pulang ke rumah, bukan ke tempat lain. Ruby, tolong awasi Ruben."
"Baik, Pak," sahutku.
Kami bertiga lalu keluar. Suasana tidak enak yang sedari tadi menyelimuti kami sedikit mereda. Baru kali ini aku melihat Pak Har semarah itu. Biasanya, walaupun terkenal killer, Pak Har agak garing dan sering salah sebut nama orang dan tempat, membuat kami menyerah menghadapi lidahnya.
"Lo nggak harus ngelakuin itu, lo tau kan?" Ruben bertanya gusar. "Anak-anak tahu siapa yang awalnya punya ide beli ganja."
"Bukan elo juga," tukas Dhika. "Herman yang ngebujuk elo. Tapi lo juga nggak akan jadi beli kalau gue nggak maksa. Udah deh, gue tau lo takut setengah mati kalau ketahuan bokap lo. Bokap gue nggak akan peduli."
Mereka berjalan meninggalkan ruangan Pak Har menuju kelas mereka yang berlawanan arah dari kelasku. Seburuk apa pun KVLR dibanding seluruh Mayapada, mereka punya satu harta karun-teman yang setia kawan. Aku hanya tidak tahu apakah harta karun itu cukup untuk menyelamatkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Historia CortaKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.