Sesuai janji, Ruben dibebaskan besoknya. Aku menjemputnya sepulang sekolah. Ayah memintaku melakukannya, berdalih ia punya banyak rapat hari ini. Namun aku tahu bahwa alasan Ayah bukan itu.
Tatapan Ruben kosong saat dia keluar dari ruangan kemarin—dia tidak mau menatapku, melainkan terus-terusan menunduk memperhatikan lantai.
"Ben," ujarku.
Dia mendongak. Senyumnya miris. Dia tahu aku yang akan menjemputnya. Dia hanya tidak mau aku yang menjemputnya. Aku terlalu mengenalnya untuk tahu dia ingin Ayah yang menjemputnya saat ini. Dia berjalan menghampiriku.
"Sudah gue duga. Bokap nggak mau jemput gue, iya kan?"
"Bukannya nggak mau," jawabku. "Ayah nggak bisa."
"Kerja? Cih."
"Ben, Ayah—"
"Anter gue ke sekolah. Gue nggak mau pulang."
Kesabaranku langsung habis mendengar kalimatnya. "Lo pulang ke rumah. Gue nggak mau nganter elo ke sekolah. Rumah lo bukan di sana."
"Buat apa gue pulang? Bokap bahkan nggak peduli gue baru aja bebas."
Aku meninju perut Ruben sekuat yang kubisa. Idiot itu terdorong mundur beberapa langkah. "Lo tau kenapa Ayah nggak bisa jemput elo?" tanyaku sebal. "Karena Ayah nggak siap ngeliat elo."
Dia menatapku bingung.
"Tadi malem, Ayah dan Bunda nangis bareng di ruang tengah. Ayah nangis, Ben. Dan lo tau apa yang dia katakan? Ayah minta maaf karena Ayah nggak jadi ayah yang baik buat elo."
Mata Ruben kini memancarkan rasa terkejut sekaligus tidak percaya. "Nggak mungkin...."
"Buat apa gue bohong?" seruku, kehabisan ide membuat Ruben percaya bahwa Ayah juga sayang padanya. "Plis, Ben, pulang. Sampai kapan lagi lo mau lari?"
Kembaran idiot itu masih terdiam. Dia bingung. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan. Hatiku berdenyut menatapnya terluka sendirian.
"Lo bilang lo nggak tau caranya berhenti." Aku berjalan mendekatinya. "Gue juga nggak tau. Ayah dan Bunda mungkin juga nggak tau. Tapi yang gue tau, gue akan bantuin elo. Mereka akan bantuin elo. Yang bisa lo lakuin sekarang adalah pulang. Lo udah pergi terlalu lama."
Badan Ruben mulai bergetar. Aku memeluknya. Untuk sesaat, dia tidak melakukan apa pun. Dia masih berpura-pura tegar. Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan agar dia tahu dia tidak harus berpura-pura. Ruben takut, terhilang, terluka, dan aku akan menolongnya. Aku akan menolongnya karena aku menyayangi idiotku itu, lebih dari apa pun juga.
"Kami nggak akan ninggalin elo. Lo nggak harus ngelewatin ini sendirian."
Tangan Ruben memelukku erat. Wajahnya dia sembunyikan di bahuku, menutupi fakta bahwa dia menangis. Aku menggigit bibir, berusaha agar tidak ikut menangis.
Ruben sudah pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Short StoryKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.