[TRD17 - Kantor Polisi]

5.6K 1.4K 101
                                    

Setelah ragu sesaat, aku memutuskan untuk menelepon Ayah dan Bunda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah ragu sesaat, aku memutuskan untuk menelepon Ayah dan Bunda. Aku tidak berani masuk ke dalam kantor polisi. Aku dan Anggit sudah sampai sekitar lima menit yang lalu, tapi tidak ada dari kami yang berani masuk ke dalam.

Aku takut. Benar-benar takut. Kenakalan Ruben selama ini masih tergolong biasa saja, karena paling buruk dia hanya diberi surat peringatan dari sekolah dan disuruh menginap di rumah selama seminggu. Aku tidak menduga Pak Har melibatkan pihak berwenang kali ini. Dan berurusan dengan polisi tidak pernah menyenangkan.

Ayah terkejut, tapi beliau tetap terdengar tenang dalam pembicaraan kami. Berbeda dengan Bunda yang langsung berseru keras sekali, disusul oleh suara teriakan Bi Maryam yang mendekat. Aku menghela napas, bersamaan dengan Anggit yang baru saja selesai menelepon kakak Dhimas yang juga kerabat Dhika (ternyata kedua idiot itu saudara sepupu).

"Mungkin harusnya gue nggak bilang ke Dhimas soal ini."

Aku menoleh. Tubuh Anggit gemetar, dan dia mencengkeram rok seragamnya kuat-kuat. Aku sadar betul dialah yang menjadi alasan utama tawuran itu. Dan menjadi orang yang menyebabkan tiga temannya dipenjara memang tidak enak. Tapi aku tidak bisa menyalahkan Anggit. Bagaimanapun juga, dia baru saja dilecehkan.

"Lo nggak salah," sahutku, meraih tangan Anggit. "Lo sama sekali nggak salah, inget itu."

Anggit menatapku. "Entahlah, By, gue ngerasa bersa—"

"Mending kita masuk aja. Temenin mereka. Gue yakin, mereka sama takutnya dengan kita."

Dia mengangguk, lalu membuka pintu mobil dengan ragu. Aku ikut keluar. Perasaanku sama tak keruannya dengan perasaan Anggit. Ruben ada di dalam sana. Ruben dipenjara. Sebenci apa pun aku padanya, aku tidak mau dia dipenjara. Aku masih terlalu sayang padanya untuk membiarkannya di balik jeruji dingin itu.

Pak Har ternyata sudah ada di dalam, entah kapan beliau sampai. Ia sedang berbicara dengan seorang pria tegap yang mengenakan seragam polisi. Aku tidak yakin apa yang mereka bicarakan, namun aku kembali merasa sebal dengan Pak Har. Permasalahan ini mungkin tidak harus sampai diurusi polisi.

"Halo, kalian." Pak Har menoleh padaku dan Anggit.

Anggit menggumamkan sesuatu, sementara aku hanya mengangguk.

"Tenang, teman kalian tidak akan dipenjara lama-lama," ujar pria yang diajak bicara Pak Har. "Mereka hanya ditahan sampai ada yang bisa datang untuk menjamin mereka."

"Memangnya seberapa parah tawuran ini? Saya pernah mendengar geng KPL ini tawuran, tapi biasanya tidak sampai ditangkap. Siapa yang melapor?"

"Seorang pedagang batagor yang gerobaknya terlempar batu. Dan kalau batu sudah beterbangan, tawuran ini sudah parah."

"Tapi Pak, mereka melakukannya demi saya," potong Anggit. "Mereka tawuran karena geng sekolah sebelah memang sudah melewati batas."

"Batas apa?" tanya Pak Har.

Anggit tampak ragu-ragu. Dia mencengkeram rok seragamku.

"Pak, intinya orang-orang dari sekolah sebelah memang bajingan," kataku akhirnya. "Bahkan tadi yang melempar batu itu dari sekolah sebelah."

"Ya Tuhan!" seru Pak Har. "Dasar murid sialan!"

Aku melongo mendengar Pak Har mengumpat.

"Yah, apa pun alasannya, mereka sudah melakukan hal yang salah," ujar Inspektur. "Sayangnya, kami tidak bisa membebaskan mereka sampai—"

"Saya minta mereka ditahan satu hari, baik ada atau tidak ada yang menjamin. Besok sepulang sekolah, baru dibebaskan," potong Pak Har. "Biar bagaimanapun, tawuran bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Mereka harus diberi efek jera."

"Oke." Inspektur itu lalu menunjuk ke arah sebuah pintu. "Kalian mau bertemu mereka?"

[1] The Real DealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang