Sepulang sekolah, tampaknya Komandan idiot itu berusaha mematuhi perintah Pak Har sebaik-baiknya, karena dia ada di sebelah motorku meski dengan jengkel. Dia tampak mengunyah sesuatu—yang ternyata adalah permen karet—sambil memasang wajah dongkol. Yah, dia pasti sebal disuruh tidur di rumah selama seminggu berturut-turut.
Aku menyukai hukuman terakhir Pak Har. Bagi kebanyakan idiot KVLR, rumah adalah tempat yang paling mereka takuti. Banyak orang tua mereka yang kaku, sehingga akan jauh lebih mudah untuk tidak pulang ketimbang berhadapan dengan orang tua.
"Nurut juga lo. Takut dilaporin?" tanyaku dengan nada mengejek.
"Diem lo." Ruben mengambil kunci motor sambil bersungut-sungut.
Aku hanya menyeringai. Kami segera meninggalkan area sekolah. Warung Bu Karti tampak sepi dari KVLR—pelanggannya hanya beberapa warga setempat dan anak-anak Mayapada yang bukan anggota geng. Para idiot itu pasti takut dikeluarkan, apalagi gosip soal ganja ini sudah menyebar ke mana-mana. Dan semua orang tahu, setiap murid Mayapada rela menjual temannya sendiri demi menghapus beberapa catatan merah di buku pelanggaran.
Yeah, ada sistem di sini, sehingga saat seseorang melaporkan kejahatan temannya—seperti mencontek, berkelahi, dan semacamnya—pelanggaran yang dia lakukan bisa dihapus dari catatan. Jumlah pelanggaran atau catatan mana yang dihapus tergantung seberapa baik informasi yang dia berikan. Sistem ini agak aneh, seakan kejahatan seseorang bisa hilang jika dia melaporkan kejahatan orang lain.
Ruben berhenti di sebuah warung pinggir jalan. "Bentar, gue butuh minum."
"Minum? Lo mau mabuk?" tanyaku kaget. Hell, did he learn anything?
"Nggak, gue butuh bir."
Tanpa basa-basi Ruben turun dan membeli dua kaleng bir. Aku hanya diam. Setidaknya, bir tidak akan membuatnya terjerumus ke dalam masalah. Begitu selesai, kami langsung bergegas pulang. Tidak ada suara omelan yang biasanya dia keluarkan saat dalam perjalanan pulang. Makhluk idiot itu sedang memikirkan sesuatu entah apa.
Kami berhenti di lampu merah, dan aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bertanya, "Kenapa?"
"Apa?"
"Kenapa lo gabung KVLR? Kenapa lo beli narkoba? Kenapa lo ngerokok? Kenapa lo ngelakuin apa yang lo lakuin? Kenapa...," aku menghela napas, "kenapa lo berubah?"
Pertanyaanku disahut diam. Ruben tidak menatapku. Dia memilih untuk menatap mobil di depan kami sambil memikirkan sesuatu entah apa. Kadang aku kangen. Kangen banget. Tidak ada lagi yang sekarang merebut remote televisi dariku. Tidak ada yang suka menyelonong masuk ke kamarku saat aku sedang ganti baju dan berteriak panik sendiri saat dia melihatku tanpa kaus atau celana. Tidak ada lagi yang akan jadi kembaranku di rumah.
Sial, kembaran idiot itu membuatku ingin menangis.
Ruben menghela napas. "Gue... nggak tau. Dan jujur, alasan yang bisa gue temuin sama sekali bukan alasan."
"Idiot."
"Emang."
Aku tersenyum tipis. "Plis, berhenti," ujarku, bersamaan dengan lampu yang berubah menjadi hijau, "sebelum lo terjerumus ke bahaya yang lebih besar."
Ruben tidak mengatakan apa pun untuk beberapa saat. Dan jawabannya membuatku merasa sangat, sangat sedih.
"Masalahnya, gue nggak tau caranya berhenti...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Truyện NgắnKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.