Suasana rumah tidak pernah secanggung ini. Bi Maryam memutuskan untuk tidak ikut makan di sini dan beralasan cucunya mengunjungi dari luar kota. Bunda langsung menjatuhkan belanjaannya dan memeluk Ruben begitu ia sampai. Sementara Ayah menatap Ruben tajam sebelum berbalik dan bersembunyi di kamar kerjanya.
Belum lagi saat makan malam. Bunda tidak mau jauh-jauh dari Ruben dan terus-terusan mengajaknya berbicara. Ayah menikmati makanannya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Aku tidak tahu harus apa, hanya bisa memperhatikan Bunda yang sumringah. Bunda tidak pernah sebahagia ini sebelumnya.
Sebenarnya aku tidak keberatan Bunda terlihat lebih memikirkan Ruben ketimbang aku—toh memang kembaran idiot itu yang berulah sehingga Bunda khawatir. Hanya saja, aku tidak rela mendengar Bunda terisak karena Ruben tidak pulang hari itu. Aku tidak suka melihat Ayah berpura-pura tidak pernah punya anak laki-laki. Aku benci melihat Bi Maryam mencuci baju-baju kotor Ruben tanpa dia pernah ada di rumah ini.
Aku benci Ruben dan bagaimana dia merusak kami.
Bunda dengan bersemangat menyuruh Ayah mengeluarkan kue yang mereka beli tadi. Kami berempat menyanyikan lagu ulang tahun untuk Bunda, sebelum pada akhirnya ia memotong kue itu menjadi empat bagian sama besar. Potongan pertama diberikan pada Ruben.
"Selamat ulang tahun, Bunda," ujarnya seraya mencium pipi Bunda.
"Makasih, Sayang. Bunda kira kamu nggak akan ingat ulang tahun Bunda," sahut Bunda, tertawa.
Ruben langsung melirikku dengan tatapan, Awas lo bilang kalau gue sebenernya lupa. Aku memutar bola mataku. Idiot itu. Bagaimana bisa dia melupakan hari yang dulu paling dia tunggu-tunggu?
"Kamu benar-benar ingat?" tanya Ayah tiba-tiba. Aku menatapnya. Sepertinya Ayah melihat lirikan itu tadi.
"Eh, tentu," jawab Ruben. "Ada apa?"
"Biasanya kamu mempersiapkan hadiah aneh-aneh untuk Bundamu. Sekarang kamu tidak punya apa pun."
Wajah Ruben memerah. Memang biasanya dia membawa hadiah aneh-aneh untuk Bunda—gelang dari rumput kering, bros bunga yang sesungguhnya hanya pita jepang dan peniti, serta anting-anting seribu-dapat-tiga yang dibelinya di depan sekolah. Meski segala pernak-pernik itu tidak pernah dia buat sendiri—selalu minta tolong teman sekelas kami atau dibeli—Bunda menyimpannya dalam laci barang-barang berharga.
"Aku nggak punya ide hadiah untuk Bunda," kilahnya. "Lagipula, emang Bunda butuh apa?"
"Bunda cuma butuh kamu pulang kok." Bunda tersenyum sembari merangkul Ruben. "Tidak usah kasih hadiah lain."
Melihat Bunda membela Ruben, Ayah tidak membalas apapun. Tapi bukan Ayah jika ia tidak melancarkan serangan pamungkasnya. "Ah, benar juga. Dia memang tidak pernah ada di rumah. Omong-omong, di mana kartu kreditmu?"
"Untuk apa? Ayah butuh uang?" Nada suara Ruben sinis, aku tidak suka itu.
"Tidak, hanya saja kamu jarang pulang, jadi Ayah rasa kamu tidak usah lagi membawa kartu kredit yang Ayah berikan. Toh kamu bisa bertahan hidup di sana tanpa kami, jadi untuk apa Ayah memberimu uang?"
That's it. Suasana langsung memburuk drastis. Ayah tanpa merasa bersalah langsung pergi mengambil air minum, sementara Ruben terdiam menahan kesal. Dia meminta izin Bunda untuk pergi ke kamarnya. Tentu saja, Bunda mengiyakan, tahu bahwa Ayah dan Ruben tidak bisa lagi ada di dalam ruangan yang sama lebih lama.
"Ini semua gara-gara lo," bisiknya saat melewatiku.
Aku terdiam, menatap Bunda dengan perasaan bersalah. Malam itu, ia menangis lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Proză scurtăKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.