Ruben
"Ben, lo kok tobat sih?"
Pertanyaan Dhika mendadak membuatku pusing. "Kenapa emang? Lo nggak suka jabatan baru lo?"
Yeah, jabatan Komandan KVLR kini memang dipegang Dhika. Pertobatanku dan Dhimas membuat kami ogah mengurusi KVLR. Dhimas tidak mau mengecewakan Anggit, dan aku tidak mau mengecewakan Ruby, Ayah, serta Bunda. Mereka tidak pantas mengalami banyak hal buruk karenaku.
Iya, mungkin kalian sulit membayangkan orang sepertiku bisa tobat. Tapi serius, orang yang paling kusayangi di dunia ini adalah kembaran begoku itu. Sebejat apa pun aku, hal yang paling tidak kuinginkan adalah melihatnya menangis.
Sejak Ruby menanyakan pertanyaan itu—yang di part dua belas itu loh—aku sudah mulai mempertanyakan segala hal yang kulakukan. Dan semua orang tahu, pertanyaan "kenapa" selalu paling sulit dijawab.
Kenapa...? Ugh, karena meski hidupku baik-baik saja, aku merasa ditantang oleh orang keparat yang menjebloskanku ke dalam masalah ini pada mulanya—Herman, Komandan KVLR sebelumku. Dia awalnya mengganggu Ruby, dan sebagai kembaran idiotnya yang terkasih dan mengasihinya, jelas aku harus melindunginya. Ucapan Herman waktu itu masih membuatku marah.
"Cih, kembarannya dateng. Cemen lo!"
Yah, kalimat persisnya aku lupa. Tapi sudah kukatakan, aku sangat menyayangi kembaran bego itu, dan melihatnya diserang seperti itu membuatku ingin menghajar Herman habis-habisan. Yang nyaris kulakukan, jika saja waktu itu salah satu guru tidak menghampiri kami. Makhluk keparat itu malah menantangku untuk duel. Satu lawan satu. Di halaman belakang sekolah.
Egoku yang kelewat tinggi membuatku terpancing. Tanpa sadar, bahwa sebenarnya Herman sedang merekrutku sebagai anggota KVLR. Dia tahu aku berpotensi, dan dengan idiotnya aku terjerumus ke dalam jebakannya. Namanya juga idiot. Aku pasrah dengan kenyataan itu.
Sejak itu, aku merokok, membolos, dan melakukan semua pelanggaran yang bisa dilakukan oleh anak SMA. Herman tahu persis kelemahanku—motto sialan itu, "Hidup hanya sekali, dan kesempatan yang tidak bisa diulang itu harus dimanfaatkan sebaiknya"—dan menggunakannya dengan sangat baik. Jelas aku tidak akan melewatkan kesempatan mencoba berbagai hal yang selama ini tidak bisa kulakukan.
Yah, mungkin jika mau diusut lagi, semua ini berawal dari Ayah yang sangat kaku kepadaku dan Ruby. Padahal sungguh, semuanya itu demi kebaikan kami. Aku terlalu buta untuk melihatnya.
"Suka sih, tapi anak-anak pada kangen." Dhika memainkan pensilnya. "Banyak dari mereka yang keluar gara-gara lo nggak lagi jadi komandan mereka."
"Bodo, Dhik. Gue nggak bisa ngecewain si bego."
"Uh, so swit."
Aku menimpuknya dengan tisu bekas. "For real, Dhik."
"Hormati keputusan Ben," celetuk Dhimas. Di antara kami bertiga, dialah yang paling tidak bejat. Dhimas hanya terseret ke dalam kebejatan karena punya teman-teman bejat. "Lo butuh seseorang, Dhik. Berusaha jadi lebih baik demi seseorang itu seru. Bahkan lebih menantang daripada jadi bad boy picisan yang nggak berguna."
Jadi baik jauh lebih sulit daripada jadi nakal. Dhimas bijak juga.
Tapi sungguh, sekali terjerumus ke dalam sebuah adiksi, akan sulit untuk lepas. Sampai sekarang, aku masih sesekali merokok, meski sudah tidak sesering dulu. Melepaskan diri dari jerat kebejatan jauh lebih sulit ketimbang terjun ke dalamnya.
Tapi demi si bego, aku mau berusaha. Dia bilang, dia tidak mau menjengukku di penjara karena dia takut melihatku menangis. Dia bilang, dia mau menolongku keluar dari hal gila ini. Ruby bilang dia kangen padaku. Begoku bilang dia sayang padaku.
Mungkin dia tidak tahu, tapi aku sama kangennya dengan dia. Ada kalanya aku berpikir untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak bisa lagi mengecewakan By, Bunda, dan Ayah. Aku tidak bisa mengecewakan diriku sendiri. Tapi egoku selalu memaksaku mengalihkan pikiran, dan niat itu kembali terkubur jauh di dalam diriku.
Tidur di penjara semalaman rupanya sanggup memunculkan kembali niat itu.
Aku takut. Aku akhirnya sadar aku ternyata tidak kuat menghadapi semua ini. Tapi Ruby ada di sana, menolongku, meraihku. Dia memelukku, dan seluruh benteng pertahananku runtuh. Aku tidak bisa menghadapi semuanya sendirian. Aku butuh dia.
Mau tidak mau, aku harus mengakui, alasanku berusaha keras memperbaiki diri adalah Ruby, kembaran begoku.
"Oke, cuma gue nih yang hidupnya menyedihkan," Dhika mendengus. "Ah udah. Males baper gue. Ini soal nomor tujuh nggak selesai-selesai. Si Dhito ke mana sih, lama amat."
Aku tertawa. Dhika masih dalam masa penyangkalan. "Tenang Dhik, suatu hari nanti, lo pasti nemuin alasan lo kok."
"Ya ya, apa pun. Tapi sekarang, lo harus bantuin gue nemu si X. Soal ini sama sekali nggak memberi gue info."
"Nggak salah lo nanya ke gue?" Dhimas menggerutu. "Gue aja nggak tau harus nyari apa."
Oke, mereka benar. Acara bapernya bisa nanti. Kami harus memikirkan soal matematika ini sekarang. Toh, biar bagaimanapun, ada alasanku di rumah yang sedang bahagia menikmati sushi. Aku tidak boleh mengecewakannya.
[Berlanjut ke Deadly Pleasure]
...
yea gais this is Ruben's point of view. maaf jika endingnya aneh hiks /tidak pernah bisa buat ending/
thanks for supporting TRD! ♥
P.s. Deadly Pleasure tidak benar-benar sekuel tapi silakan dibaca, jangan sampai ketinggalan cerita mereka!
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
ContoKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.