Sabtu ini semua orang tua dari anggota KVLR yang dituliskan Ruben dan Dhika dikumpulkan di aula. Ayah sepertinya tahu kalau Ruben terkena masalah yang cukup berat. Tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara dan suasana di antara mereka terasa begitu dingin.
Pak Har datang tak lama kemudian, meredam riuh yang sedari tadi terdengar. Raut mukanya datar, dan hal ini tidak bisa dibilang bagus---Pak Har kan biasanya agak sinting, jadi ekspresinya sekarang terlihat mengerikan. Aku jadi takut jika tiba-tiba mendengar kabar kalau Pak Har akan memulangkan semua anak di sini. Aku menggenggam tali tasku dengan khawatir.
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu serta wali dari beberapa siswa SMA Mayapada," sapa Pak Har lantang. "Mungkin Anda sekalian bingung apa yang menyebabkan saya memanggil Anda ke sini tiba-tiba."
Semua orang menyahut dengan jawaban serupa---ya, mereka semua kebingungan. Ayah tidak membalas, hanya menatap kepala sekolah kami dengan tajam. Ruben menunduk di sebelahnya. Yang paling tidak dia inginkan adalah Ayah tahu tentang kelakuannya dan persis itulah yang akan terjadi hari ini.
"Pihak sekolah mengumpulkan Anda di sini hari ini karena anak-anak Anda ketahuan melanggar salah satu peraturan sekolah yang cukup berat." Pak Har menghela napas. "Mereka, jika Anda sekalian belum tahu, bergabung dalam geng sekolah bernama---hmm, apa namanya?---Kavaleri, dan ketahuan menggunakan narkoba."
Seisi ruangan langsung senyap. Semuanya pasti terkejut mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Pak Har. Aku melirik Ayah, yang sedang memijit dahinya. Ruben tidak melakukan apa-apa selain menunduk.
"Saya akan membagi surat peringatan bagi anak-anak Bapak-Ibu sekalian. Jika setelahnya anak Anda sekalian ketahuan menggunakan narkoba lagi, saya harus mengambil tindakan dengan memulangkan anak Anda. Untuk saat ini, kami meminta Anda sekalian mengawasi anak-anak Anda. Setidaknya, untuk seminggu terakhir ini, saya harap semua siswa yang hadir di sini langsung pulang."
Aku tidak mengerti apa lagi yang dibicarakan Pak Har. Ruben cuma pasrah. Begitu pula saat kami berada dalam perjalanan pulang. Perang dingin di antara Ayah dan Ruben sepertinya sudah dimulai.
"Ayah kecewa sama kamu, Ben," kata Ayah saat mobil terparkir di halaman rumah. "Narkoba? Berani-beraninya kamu pakai narkoba."
"Iya, berani. Nggak pernah ada yang peduli juga, di rumah ini." Ruben keluar dari mobil sambil membanting pintu.
"Bundamu nggak peduli, gitu?" Suara Ayah mulai meninggi. "Kamu nggak kasihan lihat Bundamu nangis karena kamu jarang pulang? Oh, mungkin karena kamu nggak pernah ada di rumah saat itu terjadi. Kamu yang nggak pernah peduli, Ben."
Aku turun sambil menghela napas. Kalau sudah begini, mereka tidak ada yang akan mendengarkanku.
"Mungkin. Tapi aku kan cuma niruin apa yang Ayah lakuin selama ini." Ruben mengangkat bahu sambil berjalan ke kamarnya. "Ayah yang nggak pernah peduli."
Ayah terlihat seperti ingin membalas, tapi menahannya. Mereka lalu masuk ke kamar masing-masing—Ruben membanting pintu kamarnya dan Ayah masuk ke dalam ruangan kerjanya. Bunda keluar dari dapur tak lama kemudian, kebingungan dengan keributan yang terjadi.
Aku memeluk Bunda. Kenapa jadi sekacau ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] The Real Deal
Короткий рассказKomandan Pertama Kavaleri; The real bad boy ain't playing no game.